BANK BNP KATANA JAKARTA 2015

BANK BNP KATANA JAKARTA 2015

KTA Bank BNP KATANA adalah Kredit Tanpa Agunan dari Bank BNP yang ditujukan untuk perorangan yang telah memiliki fasilitas Kartu Kredit dengan min. limit Kartu Kredit Rp.6 juta. Pinjaman dana tunai ini bisa sampai dengan Rp. 100 Juta dan memberikan keleluasaan jangka waktu hingga 36 bulan.

A. Dokumen :

1. Copy KTP & Kartu Keluarga (yang masih berlaku, min 30 hari)
2. Copy NPWP
3. Copy kartu kredit bagian depan dengan Limit Minimal 6 Juta & Billing Tagihan 1 Bulan Terakhir serta Pemakaian 1 Bulan terakhir tdk lebih dari 80% & tidak pernah Over Limit serta Pembayaran Kartu Kreditnya Lancar.
4. Copy cover bagian dalam buku tabungan bagian depan

B. Persyaratan:
1. Warga Negara Indonesia
2. Usia min 21 tahun/sudah menikah – 55 tahun (karyawan) dan 65 tahun (wiraswasta/profesional) s/d kredit berakhir
3. Status karyawan tetap, profesional, dan wiraswasta
4. Memiliki Telepon Kantor/TempatUsaha & Telepon Rumah PSTN
5. Bunga 29% efektif/tahun
6. Minimum penghasilan Rp. 5 Juta/Bulan
7. Limit kartu kredit minimal Rp. 6 Juta dan minimal kepesertaan Min 1 Tahun.

C. Risiko :
Keterlambatan membayar angsuran akan menimbulkan risiko denda

D. Biaya :
Nasabah dikenakan biaya :
1. Administrasi Rp.50.000,-
2. Provisi 3,5%
3. Biaya pelunasan dipercepat 5% dari sisa pinjaman
4. Tanggal angsuran sesuai dengan tanggal pencairan

BNP GENERAL EXTRA

KTA BANK BNP General Extra

UNTUK ANDA YANG BELUM PUNYA KARTU KREDIT

KTAGeneral Extra adalah fasilitas pinjaman dana tunai tanpa jaminan untuk perorangan yang berprofesi sebagai karyawan tetap dan karyawan kontrak & Karyawan Tetap yang memiliki Gaji Minimal diatas Rp. 3 Juta. Pinjaman yang mudah dan fleksibel ini mampu memberikan kemudahan pinjaman hingga Rp. 25 Juta dengan jangka waktu hingga 36 bulan.
A. Persyaratan Dokumen :

1. Copy KTP (yang masih berlaku, min 30 hari)

2. Asli Slip gaji 1 bulan terakhir atau Surat Keterangan Penghasilan Yang Asli
3. Asli Surat Keterangan Bekerja dari tempat bekerja
4. FotoCopy Surat Perjanjian Kontrak Kerja untuk Karyawan Kontrak / SK.Karyawan

Tetap yang telah memiliki Usia Kerja lebih dari 18 Bulan.

5. Cover Buku Tabungan Payroll & Printout Rekening Koran (Tabungan Payroll) Terbaru.

6. Copy NPWP

7. Coverage Area Nasional.

B. Persyaratan Umum :
1. Warga Negara Indonesia
2. Usia min 21 tahun/sudah menikah – 55 tahun (s/d kredit berakhir)
3. Status karyawan tetap maupun kontrak
4. Minimum penghasilan > Rp. 3 Juta/bulan
5. Khusus karyawan kontrak, min sisa masa kontrak 8 bulan.
C. Spesifikasi Produk :

1. Jumlah Pinjaman : Karyawan Tetap = Rp.1-25 juta (kelipatan Rp.100.000)
Karyawan Kontrak = Rp.1-10 juta (kelipatan Rp.100.000)
2. Jangka Waktu : Karyawan Tetap = 6 bulan – 36 bulan (kelipatan 6 bulan)
Karyawan Kontrak = 6 bulan
3. Biaya Administrasi : Rp.50.000
4. Provisi : 3% flat selama jangka waktu kredit
5. Biaya Pelunasan dipercepat : 5% dari sisa kredit

Hubungi Segera :
1. Astirini Apriani.,S.H., PIN BB:5548A4E9, NO.HP; 08380805121,

2. Mohamad Abduh.,.S.E., 081281239205

>> Proses Kreditnya Maksimal 5-8 Harikerja dari Dokumen Lengkap, Khusus Wilayah Jabodetabekka, Cikampek & Kerawang Dokumen Persyaratan bisa dijemput & jika diluar Jabodetabekka Dokumen Persyaratan & Biodata diri beserta No.Hape yang bisa di hubungi, Silahkan Anda bisa kirimkan ke Alamat

E-mail Kami di; globalautocars.2014@gmail.com & setelah itu konfrimasi SMS ke: 081281239205, PIN BB: 5548A4E9 & NO.HP; 08380805121, jangan lupa menyebutkan nama lengkap Anda. Coverage Area Wilayah Pelayanan Nasional se Indonesia.

Rabu, 15 April 2015

To Work or To Fight

To Work or To Fight

Oleh : Ubaydillah, AN

Pentingnya Pertanyaan Diri 
Semua orang sudah tahu, tujuan ke kantor adalah untuk bekerja (to work). Tapi dalam prakteknya, belum tentu tujuan itu yang benar-benar kita realisasikan secara optimal. Bisa jadi, dari 100% jam kerja kita, hanya sedikit yang kita realisasikan untuk  benar-benar bekerja, dan sisanya untuk bertengkar (to fight). Memang, kita seringkali tidak bisa menghindari hal-hal yang bersifat politis di kantor yang memicu perselisihan dan pertengkaran.

Itulah kenapa sampai muncul istilah office politic. Menurut Andrew Durbin (Winning Office Politic, 1990), office politic adalah cara halus / informal untuk mencapai kekuasaan atau keuntungan (pribadi / kelompok). Melihat hasil riset Roffey Park, terhadap sejumlah manajer, yang meskipun itu diadakan di luar negeri, office politic menduduki ranking atas dari penyebab utama konflik.  

Oleh karenanya, pertanyaan seputar diri (tentang diri, terhadap diri, saat sendirian), seperti apakah kita ke kantor, apakah untuk bekerja atau untuk bertengkar, menjadi penting sebagai sebuah cermin.  Walau kita sudah tahu jawabannya, tetapi yang seringkali kita lupakan adalah memunculkannya. Kenapa ini menjadi penting? Kalau melihat kajian psikologi, ternyata mempertanyakan diri sendiri berfungsi menyuburkan stamina spiritual.

Yang termasuk stamina spiritual di sini adalah pencerahan dan vitalitas. Dengan menyadari bahwa tujuan kita ke kantor untuk bekerja, berkarya, berkreasi, dan berkontribusi, maka kita akan terbentengi dari keterhanyutan dalam pertengkaran. Dengan bertanya apa makna hidup kita, akan membuat kita mencari-cari makna yang lebih esensial di dalam pekerjaan, kesulitan, hambatan, atau pun tantangan yang harus atau pun sedang dihadapi. Proses tersebut akan memfasilitasi munculnya kesadaran.

Jika melihat nasehat Tao, ternyata kesadaran itulah yang menjadi sumber kekuatan jiwa. Kesadaran di sini bisa kita maknai sebagai keterhubungan (connectedness) antara kita dengan apa yang kita perjuangkan / usahakan / kerjakan. Keterhubungan ini, tidak hanya berlaku untuk pekerjaan, tapi juga dengan orang lain (pimpinan, bawahan, kolega). Sebagai ilustrasi, jika bekerja tanpa hati dan motivasi, maka hasilnya dipastikan pas-pasan bahkan buruk. Jika berelasi dan bekerja sama tanpa rasa kebersamaan baik dalam tanggung jawab dan komitmen, maka yang ada adalah kompetisi negatif dan clique / group think.


Perenggut Kesadaran
Meski pertanyaan-pertanyaan yang menggugah kesadaran itu nampak sepele, namun seperti yang kita alami, kemunculannya tidak secara otomatis membuat kita benar-benar sadar. Kenapa? Tentu banyak sebabnya. Hanya, jika melihat berbagai rujukan, rupanya ada beberapa hal yang bisa kita sebut sebagai perenggut kesadaran mental.  

Sebagian dari sekian perenggut itu adalah amarah (lengkapnya nafsu amarah) yang gagal kita kendalikan. Nafsu ini adalah dorongan batin yang mendikte kita untuk melakukan sesuatu yang ditentang oleh suara hati nurani. Pemicunya adalah egoisme kepentingan / kebenaran diri yang kita pertahankan mati-matian.

Semakin sering kita menggunakan kebenaran sendiri sebagai pemandu sikap dan perilaku, mungkin akan semakin kita sering marah. Supaya nafsu ini bisa kita tundukkan, menurut pengalaman jutaan manusia, tidak ada cara lain kecuali dengan melatih diri melihat kebenaran universal yang bisa di temukan dalam hati nurani. Jika hati nurani kalah suara, cobalah untuk melihat echo nurani dari sikap lingkungan terhadap diri kita. Sebab kita suka memutlakkan kebenaran diri dan melupakan bahwa kita manusia yang punya keterbatasan.

Ada sebab lain yang diungkap Alber Bandura (How people do bad thing: 1991). Menurutnya, orang bisa melakukan hal-hal yang merugikan dirinya dan orang lain karena sistem self-regulatory di dalam dirinya sedang off sehingga gagal membedakan. Yang membuatnya off adalah usaha kita untuk merasionalisasi tindakan supaya  mendapatkan pembenar yang rasional, bukan mengoreksi / memperbaiki. Misalnya kita berkesimpulan, fighting yang kita lakukan itu cukup beralasan dengan sekian pembenar yang sudah kita siapkan.

Ada lagi yang oleh nasehatnya Tao disebut sebagai penggelap batin, yaitu insecurity (rasa tidak aman) dan egocentricity of selfisness (egoisme). Munculnya  rasa tidak aman dalam jiwa disebabkan karena kita tidak memiliki pondasi nilai-nilai yang membuat jiwa kita aman. Jika rasa itu terus menggunung, maka yang muncul adalah usaha-usaha untuk mementingkan diri sendiri atau penonjolan diri secara berlebihan. Akibatnya, kita gampang menyerang orang karena merasa ada yang mengancam kepentingan diri atau mudah melawan untuk memberi makan rasa tidak aman yang lapar.

Bentuknya antara lain: kita memaksakan proses atau keadaan agar harus sesuai dengan keinginan egois kita, memaksa diri untuk harus terkesan sebagai orang yang cerdas dengan mematahkan argumen orang lain karena kita takut dibilang bodoh, kerakusan, mengatur / menguasai orang lain secara tidak sehat, melawan hanya untuk melawan dan lain-lain


Hanya Surga yang Ideal
Dengan memunculkan beberapa pertanyaan diri, tak berarti  kita harus menjadi orang yang perfeksionis secara tidak rasional. Misalnya kita menolak / mengingkari secara batin berbagai bentuk konflik, dan pertengkaran. Ini tentu tidak rasional. Kenapa? Yang namanya di dunia itu pasti ada hal-hal yang tidak kita harapkan. Hanya di surga yang memastikan kenikmatan sempurna. 

Berbagai pertanyaan diri yang spiritual itu antara lain berguna agar kita cepat kembali pada track yang semestinya. Bayangkan jika kita lengah dalam waktu yang cukup lama? Bukan tak mungkin hidup kita menjadi tak efektif dan tak efisien. Dalam agama, pertanyaan diri itu termasuk apa yang disebut penasehat di dalam diri. Orang yang oleh Tuhan dikehendaki baik akan memiliki penasehat di dalam diri yang mampu mencegah dan menyuruh (kebaikan, kemaslahatan, dan kebenaran).

Selain berguna mengembalikan pada track, pertanyaan diri itu juga berguna untuk memfasilitas proses pembelajaran terhadap apa yang terjadi, sehingga membuat kita menjadi bijak atau memperoleh banyak pencerahan. Bijaknya kita itu bukan karena berhasil menolak apa yang terjadi atau menyikapinya secara asal-asalan, melainkan karena kita mencerna pelajarannya. Untuk bisa mencerna, pertanyaan diri menjadi modal penting. Pengalaman dan pengetahuan belum tentu membuat kita makin bijak jika tanpa dicerna.

Kegunaan lainnya adalah untuk memunculkan cahaya positif  yang akan bekerja menginspirasi orang lain mengubah dirinya setelah melihat perubahan dalam diri kita. Dalam prakteknya, diri kita memunculkan cahaya yang bisa negatif atau positif, baik secara temporer atau konsisten, tergantung bagaimana mengolah batin. Orang yang belajar beladiri untuk arogansi akan memunculkan cahaya yang menginspirasi dunia di sekitarnya untuk berkelahi. Semakin keras nafsu kita untuk penonjolan diri (power show), akan semakin banyak orang serupa yang kita temui.

Logika spiritual ini dapat kita gunakan untuk memahamkan diri bahwa dengan semakin banyak pertengkaran yang kita ladeni atau yang kita menangkan, tak berarti akan membuat posisi kita makin aman dan tenteram.  Atau tidak berarti akan semakin sedikit jumlah pertengkaran yang kita hadapi. Justru akan semakin sering dan akan semakin banyak orang yang menawarkan pertengkaran.

Bila kita termasuk orang yang dituakan / dianggap / diangkat sebagai pemimpin, logika spiritual ini menjadi sangat penting. Kenapa? Kata Marshall dan Zohar, kita sulit mengubah orang lain yang rakus supaya tidak rakus kalau kita sendiri rakus. Atau intinya, kita tidak bisa menginspirasi orang lain untuk mengubah dirinya ke arah yang lebih baik, jika level spiritual kita masih berada di kelas yang sama, karena cahayanya sama. 

Logika ini bisa kita terapkan dari mulai memimpin divisi, keluarga, organisasi, sampai ke negera. Bedanya, semakin luas wilayahnya, semakin butuh penggalian yang lebih dalam supaya cahayanya makin terang. Meski begitu, prinsip dasarnya tetaplah tak berubah. Sulit membayangkan rakyat peduli pada negara kalau para pemimpinnya hanya sedikit yang peduli sama bangsanya, karena cahayanya sama.

Meski ilmu manajemen sudah banyak menawarkan tool untuk mengubah orang lain, dari mulai pakasaan, pengkondisian, atau pemberian insentif, tetapi mengubah orang lain yang nyaris tak ada perjuangannya dan persoalannya adalah mengubah dengan memberi cahaya. Cuma, cahaya itu biasanya tak mau diberi indikator mate-matis dan tak mau mendikte langsung.

"tetapi mengubah orang lain yang nyaris tak ada perjuangannya dan persoalannya adalah mengubah dengan memberi cahaya."


Proses Pembelajaran
Kembali pada pokok bahasan mengenai bagaimana supaya kita terhindar  dari office politics yang merugikan atau kalau bisa malah dapat memfasilitas dinamika di kantor sebagai proses menuju kematangan spiritual, maka tentu ini butuh proses pembelajaran. Tak mungkin semuanya bisa diraih langsung atau membiarkan. Beberapa proses pembelajaran yang dibutuhkan itu antara lain:

Pertama, memunculkan kesadaran bahwa kita punya pilihan. Situasi atau orang yang menawarkan pertikaian tak ada yang mengharuskan dibalas secara pertikaian. Reaksi itu pilihan kita. Sayangnya, terkadang kita tidak menyadari bahwa kita memiliki pilihan untuk YA dan TIDAK. Kita terhanyut dalam keharusan bereaksi. Karena itu, orang yang sedang berpuasa diharuskan memilih kata TIDAK pada tawaran pertikaian sebab salah satu inti puasa adalah belajar mengontrol pilihan.  

Kedua, memaksa diri untuk belajar menentukan keputusan yang jelas pada hal-hal yang membutuhkannya. Terkadang kita tak mampu mengambil keputusan yang jelas karena merasa tidak kuasa,  "The I Can Not" (misalnya, saya tak tahan, memang sudah begini watak saya, dst) atau karena pilihan dan alasan kita tidak tegas,  "The Yes-but" (saya tahu pertengkaran ini merugikan, tapi...., dan berbagai "tapi" yang lain).

Mestinya, untuk pembelajaran, kita perlu memaksa diri harus tegas dengan mengurangi sejumlah persyaratan dan menambah alasan. Misalnya, kita tidak mau meladeni pertengkaran, karena kita punya pilihan yang sadar untuk itu, meski kita punya kesempatan untuk membalasnya, dengan alasan yang material (fisik atau keuntungan pribadi) dan spiritual (keimanan, dst).    

Ketiga, memaksa diri membedakan mana yang perlu didiamkan dan mana yang tidak bisa. Untuk godaan orang lain  yang sifatnya "menguji", entah menguji keimanan, keteguhan atau apa saja, yang lebih baik adalah mendiamkan. Misalnya kita sadang giat-giatnya merealisasikan visi atau tujuan, tapi bisik-bisik orang sekitar tidak mengenakkan. Kalau kita memikirkan yang demikian, maka energi dan fokus kita menjadi tidak kuat atau bocor.

Tapi, untuk hal-hal yang sudah sampai pada kezaliman perilaku, maka  kelantangan kita terkadang dibutuhkan. Orang yang mendiamkan KDRT tak berarti baik, meski tetap harus berpikir memperjuangka keutuhan. Kelantangan pun perlu dibedakan antara mana yang menginspirasi orang lain memperbaiki perlakuannya pada kita dan mana yang tidak. Umumnya, kelantangan yang efektif adalah kelantangan yang jarang, jelas, dan pendek, tidak merembet kemana-mana.


Bagaimana Kalau Tidak Mempan?
Banyak yang bertanya-tanya, saya sudah berusaha baik, tapi si dia-nya itu yang tetap kurang ajar. Apa yang harus saya lakukan? Dalam kondisi begini, kita harus lari berpegang pada prinsip lain: sejauh kita memperbaiki diri, walaupun dia tidak %0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar