Kisah Mualafnya Steven Indra Wibowo, Dari Katedral ke Istiqlal
4/13/2015 11:30:00 PM
[Seorang
mualaf ibarat besi yang baru jadi. Saatnya Allah menempa kita dan
menjadikannya sebilah pedang. Kalau tidak ditempa, tidak akan tajam.]
Bagi
Steven Indra Wibowo, agama adalah sebuah pilihan hidup. Seperti
filosofi yang dianut oleh para leluhurnya, setiap pilihan inilah yang
nantinya menjadi pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. ''Bagi
saya, Islam adalah pegangan hidup,'' ujar pria kelahiran Jakarta, 14
Juli 1981 ini kepada Republika.
Sebelum memutuskan memeluk Islam,
Indra adalah seorang penganut Katolik yang taat. Ayahnya adalah salah
seorang aktivis di GKI (Gereja Kristen Indonesia) dan Gereja Bethel. Di
kalangan para aktivis GKI dan Gereja Bethel, ayahnya bertugas sebagai
pencari dana di luar negeri bagi pembangunan gereja-gereja di Indonesia.
Karena itu, tak mengherankan jika sang ayah menginginkan Indra kelak
mengikuti jejaknya dengan menjadi seorang bruder (penyebar ajaran
Katolik—Red).
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, sejak usia
dini ia sudah digembleng untuk menjadi seorang bruder. Oleh sang ayah,
Indra kecil kemudian dimasukkan ke sekolah khusus para calon bruder
Pangudi Luhur di Ambarawa, Jawa Tengah. Hari-harinya ia habiskan di
sekolah berasrama itu. Pendidikan kebruderan tersebut ia jalani hingga
jenjang SMP. ''Setamat dari Pangudi Luhur, saya harus melanjutkan ke
sebuah sekolah teologi SMA di bawah Yayasan Pangudi Luhur,'' ujarnya.
Karena
untuk menjadi seorang bruder, minimal harus memiliki ijazah diploma
tiga (D3), selepas menamatkan pendidikan teologia di SMA tahun 1999,
Indra didaftarkan ke Saint Michael's College di Worcestershire, Inggris,
yaitu sebuah sekolah tinggi khusus Katolik. Di negeri Ratu Elizabeth
itu, pria yang kini menjabat sebagai sekretaris I Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) ini mengambil jurusan Islamologi.
Selama
menempuh pendidikan di Saint Michael's College ini, Indra mempelajari
mengenai hadis dalam ajaran Islam. ''Intinya, kita mempelajari hadis dan
riwayatnya itu untuk mencari celah agar orang Muslim percaya, bahwa apa
yang diajarkan dalam agama mereka tidak benar. Memang kita disiapkan
untuk menjadi seorang penginjil atau misionaris,'' paparnya. Bahkan,
untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, ia harus melakoni
prosesi disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdikan seluruh
hidupnya untuk Tuhan.
Namun, seiring dengan aktivitasnya sebagai
seorang penginjil, justru mulai timbul keraguan dalam dirinya atas apa
yang ia pelajari selama ini. Apa yang dipelajarinya, bertolak belakang
dengan buku-buku yang ia temui di toko-toko buku. Hingga akhirnya, suatu
hari tatkala mendatangi sebuah toko buku ternama di Jakarta, ia
menemukan sebuah buku karangan Imam Ghazali. Buku yang mengulas mengenai
hadis dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatiannya.
Dari
semula hanya sekadar iseng membaca gratis sambil berdiri di toko buku
tersebut, Indra akhirnya memutuskan untuk membelinya. ''Setelah saya
baca dan pelajari buku tersebut, ternyata banyak referensi dan
penjelasan mengenai hadis yang diriwa -yatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Akhirnya, saya juga memutuskan untuk membeli buku kumpulan hadis-hadis
Bukhari dan Muslim,'' kata dia.
Berawal dari sinilah, Indra mulai
mengetahui bahwa hadishadis yang selama ini dipelajarinya di Saint
Michael's College, ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri.
''Hadis-hadis yang saya pelajari tersebut ternyata maudhu' (palsu). Dari
sana, kemudian saya mulai mencari-cari hadis yang sahih,'' tukasnya.''
Dari Katedral ke Istiqlal
Keinginan
Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya sampai di situ. Di
sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Indra
mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu ia lakukan
selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta.
Tak ada yang mengetahui kegiatan 'mengintipnya' itu, kecuali seorang
adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
''Ketika
waktu shalat zuhur datang dan azan berkumandang dari seberang (Masjid
Istiqlal—Red), kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya
lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di
Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib
dan kembali ke Katedral,'' paparnya.
Aktivitasnya yang 'konyol'
di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja
sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai
ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Indra, ia baru sebatas
mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam
semua. Tahap berikutnya, ayah satu orang putri ini mulai belajar shalat
maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika
itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.
''Dari
situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya
keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang
bacaannya dikeraskan dan tidak.'' Setelah belajar shalat zuhur dan
maghrib, ia melanjutkan dengan shalat isya, subuh, dan ashar. Kesemua
gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari secara
otodidak, yakni dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh jamaah
shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari
dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jamaah shalat.
''Saya
lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi saya
mempraktikkannya. Dan, Alhamdulillah dalam waktu seminggu saya sudah
bisa hafal gerakan berwu -dhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan
bacaannya. Saya melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil
berusaha mengingat dan menghafalnya,'' terang Direktur Operasional
Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga), sebuah lembaga yang mewadahi
silahturahim, informasi, konsultasi, dan pembinaan agama Islam.
Untuk
memperdalam pengetahuannya mengenai tata cara ibadah shalat, Indra pun
mencoba mencari tahu arti dan makna dari setiap gerakan serta bacaan
dalam shalat, melalui buku-buku panduan shalat yang harganya relatif
murah. Melalui shalat ini, ungkap Indra, ia menemukan suatu ibadah yang
lebih bermakna, lebih dari hanya sekadar duduk, kemudian mendengarkan
orang ceramah dan kadang sambil tertidur, akhirnya tidak dapat apa-apa
dan hampa.
''Ibaratnya sebuah bola bowling, tampak di permukaan
luar -nya keras dan kokoh, tetapi di dalamnya kosong. Berbeda de ngan
ibadah shalat yang ibaratnya sebuah kelereng kecil, wa lau pun kecil, di
dalamnya padat. Saya lebih memilih menjadi se buah kelereng kecil
daripada bola bowling tersebut,'' ujar nya mengumpamakan ibadah yang
pernah ia lakoni sebelum menjadi Muslim dan sesudahnya.
Tujuh jahitan
Setelah
merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu
oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu terjadi sebelum
datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000. Keislamannya ini, kata dia, baru
diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali
ke Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari
para rekan bisnis sang ayah.
Karena mungkin pada waktu itu, papa
saya sedang mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara
Karang dan Pluit, makanya papa punya banyak kenalan dan teman. Dan,
mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan
mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa, kenangnya. Ayahnya pun
memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas
Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil dan
disidang oleh ayahnya. Saya beri penjelasan kepada beliau bahwa Islam
itu bagi saya adalah pegangan hidup.
Di hadapan ayahnya, Indra
mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder, dirinya
mendapatkan kenyataan bahwa pastur yang selama ini ia hormati ternyata
melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian juga, dengan
para frater yang menghamili siswinya dan para bruder yang menjadi homo.
Ibaratnya saya pegangan ke sebuah pohon yang rantingranting daunnya pada
patah, dan saya rasa pohon itu sudah mau tumbang kalau diterpa angin.
Sampai akhirnya, saya ketemu dengan sebatang bambu kecil, yang tidak
akan patah meski diterpa angin.
Seakan tidak terima dengan
penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya
terbentur ke kaca. Beruntung saat kejadian tersebut sang ibu langsung
membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Sebagai akibatnya, ia mendapatkan
tujuh jahitan di bagian dahinya. Kendati begitu, ibunya tetap tidak
bisa menerima keputusan putra pertamanya tersebut.
Tidak hanya
mendapatkan tujuh jahitan, oleh ayahnya kemudian Indra diusir setelah
dipaksa harus menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris,
mengenai pelepasan haknya seba gai salah satu pewaris dalam keluarga.
Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak
saya,ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada
Allah SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuknya. Salah
satunya, proposal pengajuan beasiswa yang ia sampaikan ke Universitas
Bina Nusantara (Binus) disetujui. Di Binus juga, ia mempunyai waktu
luang dan kesempatan untuk menyampaikan syiar Islam, baik melalui
forumforum pengajian maupun internet.
Karena itu, saya melihat
mualaf itu ibaratnya sebuah besi yang baru jadi. Jadi, saatnya Allah
menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Jadi, kalau tidak
ditempa, tidak akan tajam, katanya. nidia zuraya
Biodata
Nama : Indra Wibowo
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Status : Menikah dan mempunyai satu orang putri
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)
*Sumber:
Republika Online (7/7/2009)
Itu
berita ditulis sudah lama, tahun 2009. Tentu kini sudah banyak
perubahan. Kini Steven Indra Wibowo aktif berdakwah sebagai Ketua Mualaf
Center Indonesia. Sikap keluarga besarnya juga mungkin sudah berubah.
Untuk lebih jelasnya bisa ditanyakan langsung ke Steven Indra Wibowo
bisa melaui akun facebooknya:
https://www.facebook.com/steven.indra.wibowo. Foto diatas dari photo profile facebook Steven.