MAKALAH HUKUM PERBANKAN TENTANG KREDIT MACET
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan
kredit macet selalu saja menjadi berita dalam berbagai harian lokal maupun
nasional yang terbit di Indonesia. Keberadaan kredit macet dalam dunia perbankan
merupakan suatu penyakit kronis yang sangat mengganggu dan mengancam sistem
perbankan Indonesia yang harus diantisipasi oleh semua pihak terlebih lagi
keberadaan bank mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian
Indonesia.
Kredit
yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan
perekonomian suatu negara, karena kredit yang diberikan secara selektif dan
terarah oleh bank kepada nasabah dapat menunjang terlaksananya pembangunan
sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Kredit yang diberikan oleh
bank sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baik secara umum maupun
khusus untuk sektor tertentu.
Adapun tujuan utama pemberian suatu
kredit antara lain:
1. Mencari
Keuntungan
Yaitu bertujuan untuk
memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dari
bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi
kredit yang dibebankan kepada nasabah.
2. Membantu
Usaha Nasabah
Tujuan lainnya adalah
untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana
untuk modal kerja, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas
usahanya.
3. Membantu
Pemerintah
Bagi pemerintah semakin
banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan maka semakin baik, semakin
banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan diberbagai sektor.
Bank
dalam memberikan kredit, wajib mempunyai kenyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan,
serta harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat karena kredit yang
diberikan oleh bank mengandung resiko. Dalam praktek perbankan untuk adanya
pemberian kredit dari bank, maka pihak bank harus mengadakan perjanjian didalam
penyerahan uang terhadap debitur seperti yang telah disepakati bersama. Karena
biasanya dituangkan dalam suatu perjanjian kredit yang dibuat sebelum dilakukan
penyerahan uang, sehingga perjanjian kredit ini merupakan perjanjian
perdahuluan dari penyerahan uang.
Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoir,
maksudnya dengan adanya kata sepakat baru akan menimbulkan hak dan kewajiban
yang tunduk pada Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, artinya
perjanjian kredit ini terjadi pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh kedua
belah pihak antara kreditur dan yang telah ditentukan yang artinya didalam
perjanjian kredit harus memuat klausul
klausul yang telah disepakati antara pihak bank
sebagai kreditur dengan debitur atau pihak lain yang mewajibkan pihak
perjanjian untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Jika
terjadi pemberian kredit berarti bank memberikan uang kepada debitur yang
berjanji akan mengembalikan uang tersebut diwaktu tertentu di masa yang akan
datang. Berdasarkan waktu tersebut, maka terlihat adanya tenggang waktu antara
pemberian dengan penerima kembali prestasi. Karena adanya tenggang waktu
tersebut, maka dapat dimungkinkan kejadian-kejadian lain yang tidak terduga
semula. Sehingga dalam kredit terkandung pengertian tentang “Degree
of Risk” yaitu suatu tingkat resiko tentu, oleh karena pelepasan kredit
mengandung suatu risiko, baik risiko bagi pemberi kredit maupun bagi penerima
kredit. Bagi penerima kredit, risiko yang mungkin timbul adalah jika ia tidak
dapat mengembalikan pinjaman tersebut, ia akan kehilangan modal. Bagi pihak pemberi
kredit, salah satu resiko yang dapat terjadi adalah jika pihak penerima kredit
tidak dapat melunasi kewajibannya pada waktu yang telah diperjanjikan atau
dengan kata lain jika terjadi apa yang disebut dengan kredit macet
Pemberian
jaminan dalam suatu kredit pada sebuah bank adalah merupakan satu keharusan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan, sebagai berikut : “Bank Umum tidak memberikan
kredit tapa jaminan kepada siapapun.”
Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai
penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung
pembayaran kembali suatu utang. Kegunaan jaminan adalah untuk :
1. Memberikan
hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari
hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan
cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin
agar nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai usahanya,
sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan
diri sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya
kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.
3. Memberi
dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit. Khususnya
megenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui
agar ia tidak kehilangan kekayaann yang telah dijaminkan kepada bank.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini berisikan antara lain:
1.
Apa penyebab terjadinya Kredit
Macet ?
2.
Bagaimana penyelesaian Kredit
Macet ?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu :
1.
Agar dapat menyelesaikan kuliah
tepat pada waktunya;
2.
Sebagai bahan penilaian oleh
dosen;
3.
Memenuhi kewajiban dari
akademik, dan untuk perluasan wawasan serta pengetahuan.
D.
Manfaat
Penulisan Makalah
Manfaat dari penyusunan
makalah ini, yaitu :
1.
Untuk mengetahui penyebab
terjadinya Kredit Macet;
2.
Untuk mengetahui cara
penyelesaian Kredit Macet.
E.
Metode
Penulisan
Metode
penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Studi Kepustakaan
Yaitu
pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji, dan mempelajari
buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan
dengan penelitiaan.
2.
bahan – bahan yang didapat dari
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Kredit
Istilah
kredit berasal dari bahasa latin “credere”
yang berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur
atau pihak yang memberikan kredit (bank) dalam hubungan perkreditan dengan
debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam
waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan
kredit yang bersangkutan
Menurut
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, merumuskan pengertian
kredit adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dari
uraian diatas, kredit mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1.
Kepercayaan yaitu keyakinan
dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikan baik dalam bentuk uang,
barang atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu
tertentu dimasa yang akan datang.
2.
Waktu suatu masa yang
memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima
pada masa yang akan datang. Dalam arti nilai agio dari uang yaitu uang yang ada
sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan
datang.
3.
Degree of risk yaitu suatu
tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang
memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima
dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi tingkat
resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka
hasil selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan, yang
menyebabkan timbul jaminan dalam pemberian kredit.
4.
Prestasi atau objek kredit itu
tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi dapat juga dalam bentuk barang
atau jasa namun sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi
kredit yang menyangkut uang yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan
Dari
pengertian kredit diatas tampak bahwa dasar utama dalam pemberian kredit adalah
kepercayaan yang dilandasi kesepakatan untuk memberikan pinjaman sejumlah uang
dengan pemberian bunga.
Peluncuran
kredit oleh suatu bank mestilah dilakukan dengan berpegangan pada beberapa
prinsip, yaitu sebagai berikut :
1.
Prinsip kepercayaan.
Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti
kepercayaan, maka setiap pemberian kredit sebenarnya mestilah selalu dibarengi
oleh kepercayaan. Yakni kepercayaann dari kreditur akan bermanfaatnya kredit
bagi debitur sekaigus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali
kreditnya. Tentunya untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan ini oleh kreditur
mestilah dilihat apakah calon debitur memenuhi berbagai kriteria yang biasanya
diberlakukan terhadap pemberian suatu kredit. Karena itu timbul prinnsip lain
yang disebut prinsip kehati-hatian.
2.
Prinsip kehati-hatian.
Prinsip
kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip
kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping pula sebagai perwujudan
dari prinsip prudent banking dari seluruh kegiatan perbankan. Untuk mewujudkan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini, maka berbagai usaha
pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri (internal) maupun oleh pihak
luar (external), in casu oleh pihak Bank Sentral. Seperti yang diatur dalam
pasal 29 ayat (2) UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Disamping itu juga
dengan tujuan penegakan prinnsip kehati-hatian ini, regulasi tentang perbankan
diperketat. Sehingga akhirnya dunia perbankan merupakan salah satu bidang yang
sangat heavily regulated. Demikian juga dengan keharusan adanya jaminan hutang
dalam setiap pemberian kredit sebenarnya juga mempunyai tujuan agar kredit
diluncurkan secara hati-hati, sehingga ada jaminan bahwa kredit yang
bersangkutan aka dibayar kembali oleh pihak debitur.
3.
Prinsip 5 C.
Prinsip 5 C adalah singkatan dari
unsur-unsur Character, Capacity, Capital, Conditions of Economy, dan
Collateral. Untuk ini akan kita tinjau satu persatu dari unsur tersebut yang
seyogianya selalu ada dalam setiap pemberian kredit.
a) Character (Kepribadian)
Salah satu unsur yang mesti diperhatikan
oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter
kepribadian/watak dari calon debiturnya. Karena watak yang jelek akan
menimbulkan perilaku-perilaku yang jelek pula.
b) Capacity (kemampuan)
Seorang calon debitur harus pula diketahui
kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksi kemampuannya untuk melunasi
hutangnya.
c) Capital (Modal)
Permodalan dari suatu debitur juga
merupakan hal yang penting harus diketahui oleh calon krediturnya. Karena
permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu debitur akan mempunyai korelasi
langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi masalah likuiditas dan
solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya.
d) Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)
Kondisi perekonomian secara mikro maupun
makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisis sebelum suatu kredit
diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnisnya pihak debitur.
e) Collateral (Agunan)
Tidak diragukan lagi bahwa betapa
pentingnya fungsi agunan dalam setiap pemberian kredit.
4.
Prinsip 5P.
Dalam
suatu pemberian kredit oleh bank, selain prinsip 5C juga terdapat apa yang
dinamakan prinsip 5 P, yang merupakan singkatan dari Party, Purpose, Payment,
Profitability, dan Protection. Untuk ini akan ditinjau satu persatu dari
prinsip tersebut.
a)
Party (Para Pihak)
Para
pihak merupakan titik sentral yang memperhatikan dalam setiap pemberian kredit.
Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu “kepecayaan” terhadap para
pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampuannya, dan
sebagainya.
b)
Purpose (Tujuan)
Tujuan
dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus
dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang
benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar
kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan
dalam suatu perjanjian kredit.
c)
Payment (Pembayaran)
Harus
pula diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup
tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang
akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan.
Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti debitur
punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk
membayar kembali kreditnya.
d)
Profitability (Perolehan Laba)
Unsur
perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian
kredit. Untuk itu kreditur harus dapat berantisipasi, apakah laba yang akan
diperoleh oleh perusahaan lebih besar dari bunga pinjaman dan apakah pendapatan
perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow, dan sebagainya.
e)
Protection (Perlindungan)
Diperlukan
suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur. Untuk itu
perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari holding atau jaminan
pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga
sekiranya terjadi hal-hal di luar yang diskenariokan atau di luar prediksi
semula.
5.
Prinsip 3 R.
Setelah
kita lihat adanya prinsip 5 C dan prinsip 5 P, sekarang kita tinjau pula
prinsip lain yang disebut prinsip 3 R, yang merupakan singkatan dari Returns,
Repayment, dan Risk Bearing Ability. Untuk ini juga akan ditinjau satu persatu.
a) Returns
(Hasil yang Diperoleh)
Yakni yang merupakan hasil yang akan
diperoleh oleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan nanti
mestilah dapat diantisipasi oleh calon kreditur. Artinya perolehan tersebut
mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, disamping
membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash flow, kredit lain
jika ada, dan sebagainya.
b) Repayment
(Pembayaran Kembali)
Kemampuan membayar dari pihak debitur tentu
saja harus dipertimbangkan. Dan apakan kemampuan bayar tersebut macth dengan
schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. Ini juga
merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.
c) Risk
Bearing Ability (Kemampuan Menganggung Risiko)
Hal lain yang perlu diperhatikan juga
adalah sejauhmana terdapatnya kemampuann debitur unntuk menanggung risiko.
Misalnya dalam hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika
dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu harus diperhitungkan apakah
misalnya jaminan dan/atau asuransi barang atau kredit sudah cukup aman untuk
menutupi risiko tersebut.
Disamping
prinsip-prinsip tersebut di atas, maka beberapa prinsip lain dalam hal
pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur
yang harus diperhatikan oleh
suatu bank adalah sebagai berikut :
1).
Prinsip matching.
Yaitu
harus selalu match antara pinjaman dengan aset perseroan. Jangan sekali-kali
memberikan suatu pinjaman yang berjangka waktu pendek untuk kepentingan
pembiayaan/ investasi yang berjangka waktu panjang, karena hal tersebut akan
mengakibatkan terjadinya mismatch.
2).
Prinsip kesamaan valuta.
Maksudnya
penggunaan dana yang didapatkan dari suatu kredit sedapatdapatnya haruslah
digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama, sehingga
risiko gejolak nilai valuta dapat dihindari meskipun untuk itu tersedia apa
yang disebut dengan currency hedging.
3).
Prinsip perbandingan antara pinjaman dengan modal
Maksudnya
mestilah ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya
modal. Jika pinjamannya yang terlewat besar disebut perusahaan yang high
gearing. Sebaliknya jika pinjamannya lebih kecil dibandingkan modal disebut low
gearing. Post permodalan earnings yang akan didapat oleh perusahaan tidak
fixed, yaitu dalam bentuk deviden, sementara cost terhadap suatu pinjaman yaitu
dalam bentuk bunga relatif tetap. Karena itu kelangsungan suatu perusahaan akan
terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable.
4).
Prinsip perbandingan antara pinjaman dengan assets.
Alternatif
lain untuk menekan risiko dari suatu pinjaman adalah dengan memperbandingkan
antara besarnya pinjaman dengan assets, yang juga dikenal dengan gearing ratio.
Dasar hukum dalam pemberian suatu kredit menurut
Munir Fuady adalah sebagai berikut :
1.) Perjanjian
diantara para pihak.
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Demikian pula dalam
bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang juga diawali oleh suatu
perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian kredit, dan umumnya dilakukan
dalam bentuk tertulis. Karena itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, maka seluruh pasal-pasal yang ada dalam suatu perjanjian
kredit secara hukum mengikat kedua belah pihak yakni pihak kreditur dan pihak
debitur. Asal tidak ada pasal-pasal dalam perjanjian kredit tersebut yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka keterikatan yang sama juga berlaku
bagi perjanjian-perjanjian pendukung lain seperti perjanjian jaminan hutang,
teknik pelaksanaan pembayaran atau pembayaran kembali, atau lain-lainnya yang
biasanya merupakan exhibit atau lampiran dari perjanjian kredit yang
bersangkutan.
2.) Undang-undang.
Di
Indonesia, undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan adalah
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menggantikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Kegiatan pemberian kredit yang merupakan kegiatan yang
sangat pokok dan sangat konvensional dari suatu bank ditegaskan juga oleh
undang-undang tersebut. Selain undang-undang perbankan, undang-undang yang
berkaitan dengan perbankan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank
Sentral
yang mengatur mengenai kedudukan dan wewenang
dari Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas di bidang perbankan, dan termasuk
juga pengawasan di bidang perkreditan.
3.) Peraturan
pelaksanaan.
Selain
peraturan perundang-undangan maka yang menjadi sebagai dasar hukum adalah
peraturan pelaksanaan yang levelnya berada di bawah peraturan
perundang-undangan di atas. Peraturan-peraturan tersebut cukup banyak
dikarenakan oleh salah satu karakter yuridis dari bisnis perbankan, sehingga
bisnis perbankan merupakan bidang yang sarat regulasi. Hal ini disebabkan
karena:
a) Bank adalah termasuk lembaga
yang mengelola uang rakyat, karena itu kepentingan rakyat banyak ikut
dipertaruhkan oleh suatu bank.
b)
Kegiatan bank merupakan
kegiatan yang sangat detil dan complicated, karena itu perlu arahan-arahan dan
petunjuk-petunjuk yang lengkap dan detil pula.
c) Bank sangat memainkan dalam
perkembangan moneter dan perekonomian secara makro, karena itu ada pula suatu
kebutuhan masyarakat agar bank-bank tetap aman dan tidak terjadi gejolak,
sehingga perkembangan ekonomi nasional tetap mantap.
Peraturan-peraturan dalam bidang perbankan yang
levelnya berada dibawah peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a) Peraturan Pemerintah
(1) PP No.70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
(2) PP No.71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan
Rakyat.
(3) PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil.
b) Peraturan Menteri Keuangan
c) Peraturan Bank Indonesia
Peraturan lainnya, seperti Keppres atau SK
Pejabat tertentu
4.) Yurisprudensi.
Disamping
peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar hukum untuk kegiatan
perkreditan, maka yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukumnya. Hanya saja
yurisprudensi di Indonesia banyak kelemahannya sehingga agak sulit dipakai
sebagai pegangan. Hal ini disebabkan karena :
a)
Banyak yurisprudensi yang tidak
disertai dengan pertimbangan hakim yang memuaskan.
b)
Sulitnya akses masyarakat untuk
mendapatkan keputusan pengadilan.
c)
Sering pula terhadap masalah
yang sama, keputusan yang satu bertentangan dengan yang lain, sungguhpun
keputusan tersebut berasal dari pengadilan yang sama. Misalnya sama-sama
keputusan Mahkamah Agung.
5.) Kebiasaan
perbankan.
Dalam
ilmu hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi suatu sumber hukum.
Demikian pula dalam bidang perkreditan, kebiasaan dan praktek perbankan dapat
juga menjadi suatu dasar hukumnya.
6.) Peraturan
terkait lainnya.
Terkadang
dalam pelaksanaan pemberian suatu kredit berlaku juga peraturan perundang-undangan
lain yang terkait. Misalnya karena pada hakikatnya kredit merupakan suatu
perjanjian, maka berlaku pula ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur
mengenai suatu perikatan. Atau jika kredit tersebut memakai hipotik sebagai
jaminannya, maka berlaku juga ketentuan mengenai hipotik dalam KUH Perdata, dan
lain sebagainya.
Berdasarkan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November
1998 memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit yang diberikan oleh bank,
terdiri dari:
1.
Kredit lancar
Kredit
digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini:
a. tidak
terdapat tunggakan angsuran pokok, tunggakan bunga, atau cerukan karena
penarikan; atau
b.
terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tetapi tidak lebih dari 1
(satu) bulan dan kredit belum jatuh tempo.
2.
Kredit dalam perhatian khusus
Kredit
digolongkan dalam perhatian khusus jika terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga sampai dengan 90 hari (3 bulan).
3.
Kredit kurang lancar
Kredit digolongkan kurang lancar apabila
memenuhi kriteria di bawah ini:
a. terdapat tunggakan angsuran pokok
dan/atau bunga melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari (6 bulan); dan/atau
b. kredit telah jatuh tempo tidak lebih
dari 1 (satu) bulan.
4.
Kredit diragukan
Kredit
digolongkan diragukan apabila kredit yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria
lancar dan kurang lancar, yaitu memenuhi kriteria:
a.
terdapat tunggakan angsuran pokok yang telah melampaui 180 hari sampai dengan
270 hari (9 bulan); atau
b.
kredit masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurang-kurangnya 75%
dari hutang peminjam, termasuk bunganya: atau
c.
kredit tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai
sekurang-kurangnya 100% dari hutang peminjam.
5.
Kredit macet
Kredit digolongkan macet apabila:
a. terdapat tunggakan angsuran pokok
dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan lebih); atau
b. memenuhi kriteria diragukan seperti
tersebut di atas, tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan
diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan kredit; atau
c. kredit tersebut penyelesaiannya telah
diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang
dan Lelang Negara atau diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan
asuransi kredit.
Kredit dengan kolektibilitas lancar (pass)
adalah masuk dalam kriteria Perporming Loan, sedangkan kredit dengan kolektibilitas
dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan
(doubtful), dan kredit macet masuk dalam kriteia kedit bermasalah
(non-performing loan). Walaupun suatu kredit memenuhi kriteria lancar, dalam
perhatian khusus, kurang lancar, dan diragukan, namun apabila menurut penilaian
keadaan usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut harus digolongkan pada kualitas
yang lebih rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan
yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Kredit
macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat
adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar
kemampuan debitur.
Lebih lanjut pengertian kredit macet dinyatakan
oleh Gatot Supramono, bahwa kredit macet adalah suatu keadaan di mana seorang
nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya, hal ini
dapat berupa:
1.
Nasabah sama sekali tidak dapat
membayar angsuran kredit beserta bunganya;
2.
Nasabah membayar sebagian
angsuran kredit beserta bunganya;
3.
Nasabah membayar lunas kredit
beserta bunganya setelah jangka waktu yang diperjanjikan berakhir
2.
Penyebab
Kredit Macet
Kredit mecet dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik
faktor internal maupun
eksternal. Faktor internal penyebab timbulnya
kredit macet yaitu penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad
kurang baik dari pemilik, pengurus, atau pegawai bank, lemahnya sistem
administrasi dan pengawasan kredit serta lemahya sistem informasi kredit macet,
sedangkan faktor eksternal penyebab timbulnya kredit macet adalah kegagalan
usaha debitur, musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan usaha debitur,
serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.
Sejak ditandatanganinya perjanjian kredit antara bank dengan
nasabah debitur, sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban
nasabah debitur adalah membayar pokok pinjaman beserta bunganya. Namun dalam
kenyataannya banyak nasabah yang tidak dapat melaksanakan prestasinya dengan
baik, sehingga kredit yang diterimanya menjadi macet. Sebagian besar kredit
macet timbul karena hal-hal yang terjadi pada pihak debitur, antara lain :
1.
Kondisi Ekonomi Nasabah
Pada umumnya, yang
meminjam uang pada lembaga perbankan adalah nasabah menengah kebawah. Mereka
umumnya adalah petani, pengusaha kecil dan menengah. Dengan demikian, di dalam mengembangkan
usahanya selalu tergantung pada harga pasar yang berlaku.
2.
Kemauan Debitur untuk membayar
utangnya sangat rendah
Rendahnya kemauan
debitur untuk membayar utangnya ini disebabkan karena jaminan yang digunakan
oleh mereka adalah tanah milik orang lain.
Penggunaan tanah milik
orang lain adalah disebabkan pemilik tanah membutuhkan uang juga.
3.
Nilai jaminan lebih kecil dari
nilai hutang pokok dan bunga
Pihak perbankan menilai
jaminan yang dimiliki oleh nasabah debitur dianggap cukup untuk melunasi utang
pokok dan bunga. Namun pada saat dilakukan pelelangan nilai jaminan tersebut
tidak cukup untuk membayar utang pokok dan bunga debitur.
4.
Usaha nasabah bangkrut
5.
Kredit yang diterima nasabah
disalahgunakan
Yang seharusnya untuk
usahanya, namun disalahgunakan untuk keperluan lain.
6.
Managemen usaha nasabah sangat
lemah
Perlu adanya pengelola
usaha yang mempunyai pengetahuan dan skill yang baik guna berkembangnya usaha
tersebut.
7.
Pembinaan kreditor terhadap
nasabah sangat kurang
Perlu adanya pembinaan
dari kreditor terhadap nasabah debiturnya, pembinaan tersebut berguna untuk
mengembangkan kemampuan, pengetahuan , keterampilan dan lain sebagainya.
8.
Nasabah Beritikad Tidak Baik
Ada sebagian nasabah
yang sengaja dengan segala daya upaya mendapatkan kredit tetapi setelah kredit
diterima untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungajawabkan. Nasabah
sejak awal tidak berniat mengembalikan kredit walaupun dengan resiko apapun,
biasanya sebelum kredit jatuh tempo nasabah sudah melarikan diri untuk
menghindari tanggungjawab.
Kasmir
juga mengemukakan bahwa timbulnya kredit-kredit bermasalah (macet) selain
berasal dari nasabah dapat juga berasal dari bank, karena bank tidak terlepas
dari kelemahan yang dimilikinya. Bank dapat merupakan salah satu penyebab
terjadinya kredit macet. Hal tersebut karena dalam melakukan analisis, pihak
bank melakukan analisis kurang teliti sehingga apa yang seharusnya terjadi
tidak diprediksi sebelumnya. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analis
kredit dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara
subjektif.
Dari
uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa kredit macet adalah
suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank
tepat pada waktu yang telah diperjanjikan.
3.
Penyelesaian
Kredit Macet
Adanya
kredit bermasalah apabila macet yang menjadi beban bagi bank menjadi salah satu
indikator penentu kinerja bank, oleh karena itu adanya kredit bermasalah
apabila macet memerlukan penyelesaian yang cepat, tepat dan akurat dan
memerlukan tindakan penyelematan dan peyelesaian dengan segera.
Tindakan
bank dalam usaha menyelamatkan dan menyelesaikan kredit macet akan sangat bergantung
pada kondisi kredit yang bermasalah apabila macet itu sendiri. Untuk menyelamatkan
dan menyelesaikan kredit macet ada dua strategi yang ditempuh:
1). Penyelesaian
kredit bermasalah melalui jalur non litigasi
Penyelesaian
melalui jalur ini dilakukan melalui perundingan kembali antara Kreditor dan
debitor dengan memperingan syarat-syarat dalam perjanjian kredit. Jadi dalam
tahap penyelamatan kredit ini belum memanfaatkan lembaga hukum karena debitor
masih kooperatif dan dari prospek usahanya masih feasible. Penanganan kredit
perbankan yang bermasalah menurut ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia No.
23/12/ BPP tanggal 28 Februari 1991 dalam usaha mengatasi kredit macet , pihak
bank dapat melakukan beberapa tindakan penyelamatan sebagai berikut:
a. Rescheduling/
penjadwalan kembali
Rescheduling
merupakan upaya pertama dari pihak bank untuk menyelamatkan kredit yang
diberikan kepada debitor. Cara ini dilakukan jika ternyata pihak debitor
(berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan yang dilakukan account officer
bank) tidak mampu untuk memenuhi kewajiban dalam hal pembayaran kembali
angsuran pokok maupun bunga kredit.
Rescheduling
adalah penjadwalan kembali sebagian atau seluruh kewajiban debitor. Hal
tersebut disesuaikan dengan proyeksi arus kas yang bersumber dari kemampuan
usaha debitor yang sedang mengalami kesulitan. Penjadwalan tersebut bisa
berbentuk :
a. Memperpanjang
jangka waktu kredit
b. Memperpanjang jangka waktu angsuran, misalnya
semula angsuran ditetapkan setiap 3 bulan kemudian menjadi 6 bulan
c. Menurunkan jumlah untuk setiap angsuran yang
mengakibatkan perpanjangan jangka kredit
b.
Reconditioning
Persyaratan
kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat
kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan
atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimun saldo
kredit.
Upaya penyelamatan kredit secara
reconditioning bertujuan untuk :
- Menyempurnakan legal documentation.
- Menyesuaikan kemampuan membayar debitor
dengan kondisi yang terjangkau oleh debitor (angsuran pokok, denda, bunga,
penalti dan biaya-biaya lainnya).
- Memperkuat posisi bank.
c.
Recstructing
Lukman Dendawijaya mendefinisikan
reksrtukturisasi yaitu usaha penyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan
bank dengan cara mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit.
Secara umum tujuan dilakukannya
rekstrukturisasi kredit adalah meningkatkan kemampuan debitor dalam membayar
pokok dan bunga jaminan. Dalam melakukan rekstrukturisasi kredit hal yang harus
diperhatikan adalah prospek usaha dan itikad baik debitor.
Restructing atau rekstrukturisasi menurut
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November
1998 tentang Rekstrukturisasi kredit dalam Pasal 1 huruf c adalah upaya yang
dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitor dapat memenuhi kewajibannya.
Rektrukturisasi kredit dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a.
“Penurunan suku bunga kredit
Penurunan
suku bunga kredit tidak dapat dikatakan sebagai rekstrukturisasi kredit apabila
penurunan dimaksud bertujuann menyesuaikan dengan bunga pasar yang pada saat
bersamaan juga mengalami penurunan. Kaitannya dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit
(selanjutnya disingkat menjadi BMPK), perpanjangan jangka waktu yang sebelumnya
telah melampaui BMPK diberlakukan sebagai pelampauan BMPK yang wajib diselesaikan
dalam jangka waktu 9 bulan sedangkan penyertaan modal sementara dalam rangka
rektrukturisasi kredit dikecualikan dari perhitungan BMPK
b.
pengurangan tunggakan bunga kredit
kreditor
dapat memberikan keringanan berupa mengurangi jumlah bunga yang tertunggak atau
menghapus seluruh tunggakan bunga kredit. Debitor dibebaskan dari kewajiban
membayar tunggakan bunga kredit sebagian atau seluruhnya. Langkah ini diambil
agar debitor mempunyai kembali kemampuan melanjutkan kegiatan usahanya sehingga
dapat digunakan membayar utang pokoknya.
c.
Pengurangan tunggakan pokok kredit
Kreditor
dapat memberikan keringanan berupa mengurangi utang pokok yang tertunggak.
Langkah ini merupakan reksstrukturisasi yang paling maksimal yang dapat
diberikan oleh bank karena langkah ini biasanya diikuti dengan penghapusan
bunga dan denda seluruhnya.
“Pengurangan
tunggakan pokok ini merupakan pengorabanan yang tidak kembali dan merupakan
kerugian bagi bank.”
d.
Perpanjangan waktu kredit
Perpanjangan
waktu kredit merupakan bentuk rekstrukturisasi kredit yang bertujuan
memperingan debitor untuk mengembalikan hutangnya.
“Diharapkan
dengan perpanjangan waktu ini dapat memberikan kesempatan kepada debitor untuk
melanjutkan usahanya sehingga pendapatan yang harusnya digunakan untuk membayar
hutang digunakan untuk memperkuat usahanya.”
e.
Penambahan fasilitas kredit
Dalam
hal ini rektrukturisasi kredit dilakukan dengan cara penambahan fasilitas
kredit yang harus digunakan sesuai prosedur yang ketat dan terdapat agunan yang
cukup. “Dengan adanya penambahan fasilitas kredit dimana debitor diberikan
kredit lagi sehingga utang menjadi besar nantinya diharapkan debitor dapat
mempunyai kemampuan untuk
menjalankan
kembali usahanya dan pendapatan dari usahanya dapat
digunakan
untuk membayar utang lama dan utang baru.
f.
Pengambilalihan asset debitor sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Pengambilalihan
asset debitor sesuai dengan ketentuan yang mengacu kepada Undang-Undang
perbankan khususnya Pasal 12A yang mengatur kemungkinan Bank Umum dapat membeli
sebagian atau seluruh anggunan baik melalui penjualan umum atau pelelangan
ataupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela Namun
kemudahan ini oleh undang-undang diadakan pembatasan yaitu:
1. Agunan
yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan dari kredit macet
2. Agunan
yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 tahun
3. Dalam
jangka waktu 1 tahun bank dapat menangguhkan kewajibankewajiban yang berkaitan
dengan pengalihan hak atas agunan yang bersangkutan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku
g. Konversi kredit menjadi penyertaan modal
sementara pada perusahaan debitor
Pengurangan tunggakan bunga dan usaha
lainnya tidak dapat dilakukan langkah ini diambil setelah melalui analisi yang
mendalam serta mempertimbangkan akan terjadinya perubahan status bank terhadap
debitor. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan
debitor hanya dilakukan apabila dipenuhi persyaratanpersyaratan tertentu, yaitu
:
1. Jangka
waktu penyertaan maksimum 5 tahun atau kurang dari 5 tahun apabila perusahaan telah
memperoleh laba selama 2 tahun berturut-turut.
2. Setelah
5 tahun harus dihapus bukukan. Dalam hal ini bank tidak perlu ijin Bank
Indonesia namun harus sesuai dengan anggaran dasar dan kebijakan masing-masing
bank. Selain itu juga harus memperhatikan BMPK. Konversi kredit harus dilakukan
oleh satuan kerja yang tersisa dengan satuan kerja pemberian kredit dan
dipimpin oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan negoisasi dengan
debitor dalam rangka konversi kredit.
2). Penyelesaian
Kredit Bermasalah apabila macet secara Litigasi
a.
Mengajukan gugatan ke
pengadilan
a)
Mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri dengan ketentuan Hukum Acara Perdata
Kreditor
atau bank dapat memberikan somasi atau peringatan kepada debitor agar ia
memenuhi kewajiban, namun somasi secara yuridis tidak mempunyai akibat hukum
yang memaksa pada debitor. “Apabila somasi itu tidak ditanggapi oleh debitor,
maka kreditor atau bank dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri.” Kemudian
apabila terbukti hakim akan mengeluarkan keputusan Pengadilan yang tetap atau
pasti. Namun bila tergugat atau debitor tidak melaksanakan putusan pengadilan
Kreditor atau penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi dan melakukan sita
eksekusi untuk selanjutnya melelang harta tergugat sehingga hasil lelangan
dapat digunakan untuk melunasi hutang tergugat.
b)
Eksekusi jaminan kredit
“Mekanisme
eksekusi jaminan kredit bila jaminan diikat secara formal atau melalui bantuan
notaris untuk membuatkan aktanya (grosse akta/ akta hipotek/ akta hak
tanggungan) maka kreditor cukup mengajukan permohonan eksekusi kepada
pengadilan yang berkompeten.” Bila ternyata debitor tetap tidak melaukannya
maka kreditor akan memohon sita eksekusi. Kemudian dengan sita eksekusi
tersebut juru sita pengadilan melakukan sita jaminan yang biasanya disertai
permohonan kreditor untuk pelelangan jaminan. Lalu, pengadilan berdsarkan permohonan
lelang dari kreditor akan menghubungi kantor lelang untuk melaksanakan lelang
atas jaminan tersebut. Setelah pelelangan dilakukan, kreditor bisa mengambil pinjaman
dengan perhitungan yang sudah diketahui pengadilan dari harga jaminan yang
terjual.
c)
Parate Eksekusi Hak tanggungan
Pemegang
hak tanggungan dapat memilih cara menjual lelang objek
hak
tanggungan berdasarkan kekuasaan sendiri (Pasal 6 jo. Pasal
11
ayat (2e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996), maka
pemegang
hak tanggungan sama sekali tidak perlu berhubungan
dengan
pengadilan. “Kreditor pemegang Hak Tanggungan cukup
meminta
bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual obyek hak
tanggungan
tersebut.
b.
penyelesaian kredit perbankan
melalui BPBN
“Kredit
bermasalah yang ada pada bank yang sedang dalam penyehatan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 diselesaikan oleh suatu lembaga yang
disebut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).”
Piutang
yang diurusi oleh BPPN dari Bank dalam Penyehatan meliputi :
1.
Piutang yang sudah dialihkan kepada BPPN;
2.
Piutang yang timbul sehubungan dengan Penanggungan hutang;
3.
Penyerahan kekayaan oleh pihak lain kepada Bank Dalam Penyehatan atau BPPN
Tatacara
BPPN dalam menjalankan tugasnya adalah :
1. Penerbitan Surat Paksa
Penerbitan Surat Paksa diatur dalam pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah
nomor 17 tahun 1999, yang memiliki kekuatan eksekutorial dan berkedudukan sama
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penerbitan
Surat Paksa ini dilakukan sepanjang debitor telah melalaikan kewajiban membayar
atau kewajiban lainnya berdasarkan dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan,
pernyataan yang telah dibuat sebelumnya dan atau dokumen lainnya dan kepada
debitor atau penanggung hutang telah terlebih dahulu diberi surat peringatan
melalui surat tercatat untuk membayar atau dokumen lain yang nilainya sama seperti
itu.
2.
penyitaan
Dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah diterimanya
Surat Paksa, BPPN berwenang melakukan sita eksekusi atas seluruh kekayaan
debitor termasuk yang berada di tangan pihak ketiga kecuali barang-barang yang
masih dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Surat penyitaan harus memenuhi
syarat Pasal 58 dan dilakukan oleh juru sita dibantu 2 (dua) orang saksi dan
dituangkan dalam berita acara penyitaan. Berita acara penyitaan diserhkan pada
kantor pertanahan.
3. Pelelangan
Penjualan kekayaan miliik debitor yang
telah disita dilakukan melalui pelelangan, pembagian hasil pelelangan
diserahkan untuk melunasi pemenuhan pembayaran piutang negara terdahulu. Upaya hukum
lainnya tidak dapat mencegah BPPN untuk mengambil pelunasan piutang negara
termasuk upaya hukum uuntuk mencegah atau menunda pelaksanaan tindakan hukum
lain. Wewenang BPPN juga adalah menerbitkan surat pencabutan sita apabila
debitor telah melunasi hutangnya, selanjutnya kantor pendaftaran mencabut
blookir dan mengangkat sita eksekusinya.
3). Penyelesaian
kredit macet melalui PUPN dan BUPLN (Sekarang KPKNL).
Jika kredit bermasalah
sudah dapat digolongkan sebagai kredit macet, makA untuk bank-bank milik negara
di Indonesia dapat menyerahkan penyelesaian kredit macet kepada Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) dan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).
Sekarang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
4). Penyelesaian
kredit bermasalah melalui jasa pengacara.
Jalan
ini dapat pula ditempuh oleh sebuah bank, hanya penyelesaian melalui jasa
pengacara akan membutuhkan biaya yang relatif lebih besar karena harus membayar
feenya, oleh karena itu sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa pengacara,
pihak bank harus membandingkan dulu jumlah kredit tertunggak dengan besarnya
biaya yang harus dikeluarkan kemudian bagi pengacara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah kredit berasal
dari bahasa latin “credere” yang berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam
hubungan ini bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kredit (bank) dalam
hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai
kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah
disetujui bersama dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan
Menurut
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, merumuskan pengertian
kredit adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Kredit mecet dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik
faktor internal maupun eksternal. Faktor internal penyebab timbulnya kredit
macet yaitu penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang
baik dari pemilik, pengurus, atau pegawai bank, lemahnya sistem administrasi
dan pengawasan kredit serta lemahya sistem informasi kredit macet, sedangkan
faktor eksternal penyebab timbulnya kredit macet adalah kegagalan usaha
debitur, musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan usaha debitur, serta
menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.
Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan dan
menyelesaikan kredit macet akan sangat bergantung pada kondisi kredit yang
bermasalah apabila macet itu sendiri. Untuk menyelamatkan dan menyelesaikan
kredit macet ada dua strategi yang ditempuh:
1). Penyelesaian
kredit bermasalah melalui jalur non litigasi
2). Penyelesaian
Kredit Bermasalah apabila macet secara Litigasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar