Membaca Perkembangan Organisasi
Oleh : Ubaydillah, AN
Organisasi itu bukan semata kumpulan individu,
seperti kerumunan massa. Organisasi
adalah kumpulan individu yang disatukan atau yang menyatu, minimalnya untuk
beberapa hal. Karena itu, organisasi bisa disebut makhluk baru, punya
karakter tersendiri, dan punya sejarah
sendiri. Mengingat dia itu makhluk, tentu ada
dinamikanya. Sebagaimana makhluk lain yang berdinamika, dinamika itu akan
mengantarkannya ke suatu tahap perkembangan / pertumbuhan tertentu dimana
setiap tahapannya pasti memiliki kebutuhan, peluang, dan potensi krisis
sekaligus. Itulah kenapa kita perlu membaca organisasi yang kita rintis.
Perusahaan / lembaga yang cashflow-nya bagus, belum tentu menjamin
organisasinya akan menjadi lebih bagus. Jika potensi krisisnya tidak
diantisipasi, bisa-bisa itu malah menjadi awal malapetaka pecahnya organisasi. Perubahan
nasib dan kedekatan termasuk sumber konflik yang paling kuat. Sama juga dengan organisasi yang dicoba
untuk di-canggih-kan atau di-mekanistik-kan.
Belum tentu akan langsung efektif. Kalau budaya kerjanya belum siap atau
pandangan manajemennya masih sama, atau model leadership-nya tidak berubah, biasanya hasilnya sama saja. Begitu alatnya rusak atau konsultannya habis
kontrak, organisasi itu kembali lagi.
Membaca Tahapan Organisasi
Kalau mengacu ke formula yang sangat
umum kita kenal, tahap perkembangan organisasi itu dapat kita bedakan menjadi
tiga, yaitu: tahap baru lahir (start-up), tahap pertumbuhan (growth), dan tahap kematangan (mature). Setalah menapaki tahap
kematangan, organisasi itu boleh jadi
akan decline, regenerasi, atau
reformulasi.
Sebagaimana misteri yang dialami
manusia, tidak semua organisasi itu bisa berkesempatan merasakan semua tahapan.
Ada yang sudah mati waktu start-up. Ada
yang selamanya di tahap pertumbuhan, dan tidak sedikit yang mati di tengah
kejayaan. Meski demikian, banyak juga yang usianya melebihi manusia. Dengan berharap organisasi yang kita rintis
itu akan berhasil menapaki semua tahapan, hal yang perlu kita ingat adalah
menyiapkan kebutuhan utamanya. Secara umum, kebutuhan organisasi itu dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kebutuhan materi (dana, ruang, fasilitas, dan
semisalnya) dan kebutuhan non-materi (leadership
dan manajemen).
Kebutuhan yang bersifat materi umumnya
dapat dengan cepat diketahui dan dirasakan. Kalau kita kekurangan duit, rasanya
langsung nyata. Yang seringkali sulit dideteksi adalah kebutuhan non-materinya.
Lebih-lebih bagi orang dalam. Sama juga seperti kita. Membaca kebutuhan perkembangan
non-materi diri sendiri seringkali lebih sulit.
Memang, kalau kita membuka literatur
organisasi, kebutuhan non-materi organisasi di setiap tahapannya itu sudah
banyak dibahas para ahli. Tetapi, untuk implementasinya di lapangan, tidak bisa
dengan serta-merta kita jadikan sebagai panduan yang linier dan mekanistik.
Dibutuhkan seni, kekuatan, dan hal-hal lain yang intangible.
Kebutuhan Non-Materi
Kalau melihat hasil kajian para ahli
mengenai kebutuhan perkembangan organisasi pada tiap tahapannya, secara umum dapat kita bagi menjadi 3 berikut
ini:
Pertama, kebutuhan terhadap daya dobrak yang kuat atau
dikenal juga dengan istilah entrepreneureal capacity atau juga pioneering
mental attitude. Tentu, maksudnya bukan semua orang dalam organisasi itu harus
menjadi pengusaha, tetapi iklim, budaya, dan sikap mentalnya harus didorong ke
sana. Kalau tidak, pasti banyak yang terbengkalai.
Dari pengalaman banyak orang yang bisa
kita pelajari, bentuk mental pengusaha yang paling dibutuhkan pada organisasi
yang masih di level start-up ini adalah:
1. Keyakinan yang
kuat terhadap prinsipnya, kesuksesannya, atau kemampuannya
2. Keberanian
melakukan terobosan, melakukan tindakan, atau berani memasabodohkan asumsi, persepsi
atau terminologi wacana
3. Kemauan
mengaktifkan otak, seperti kreatif, inovatif, fleksibel, dan seterusnya
Tiga hal di atas tak saja berlaku untuk
organisasi, tapi juga berlaku untuk semua visi atau imajinasi yang hendak kita
wujudkan. Keyakinan, keberanian, dan kemauan seringkali lebih mampu mengubah
realitas ketimbang asumsi, persepsi, atau hasil observasi kita. Anda misalnya ingin
menulis buku, tetapi yang Anda lakukan adalah mengobservasi toko buku untuk
mengetahui buku yang belum ditulis.
Observasi memang dibutuhkan, tetapi jika
tidak diikuti dengan visi, keyakinan, dan otak, observasi itu kalah oleh
realitas. Sampai pun Anda menemukan tema yang belum ditulis orang, nanti ketika
Anda sudah mulai menulis, akan ada orang yang sudah menulis. Hasil observasi
jangan dipakai untuk mengubah kenyataan. Jadikan itu alat semata.
Kedua, kebutuhan terhadap pengaturan, pengelolaan atau
disebut juga managerial capacity. Ini pas untuk organisasi yang
pertumbuhan dan kematangannya sudah OK.
Kita butuh spesialisasi, butuh riset, butuh uraian jabatan yang
jelas, traffic light yang jelas,
dan seterusnya. Kalau ini semua tidak ada, mungkin bisa kacau.
Banyak perusahaan yang bangkrut karena
ketika dia saatnya butuh manajemen profesional, tapi itu tidak dilakukan.
Barangnya laku, tapi kapasitas produksi dan kontrol kualitasnya kacau sehingga
ditinggalkan pelanggan. Atau juga orang dalamnya mulai konflik sendiri.
Ketiga, kebutuhan terhadap kolaborasi, diversifikasi, atau integrative
and associative action, baik itu internal atau eksternal. Ketika organisasi
kita sudah lama matang, tentu wilayah garapannya makin luas atau peranannya
makin banyak. Kecuali memang kita batasi sendiri dengan traffict light
yang tegas.
Dengan makin banyaknya tawaran, peluang,
dan pekerjaan, kita butuh berkolaborasi atau bekerjasama dengan pihak lain.
Atau juga perlu membentuk tim, divisi, dan diversifikasi produk, strategi, merger, holding, dan lain-lain, seperti
yang kita lihat di sejumlah organisasi besar saat ini.
Sistem & Kaderisasi
Kebutuhan lain yang juga tak bisa
diabaikan adalah kebutuhan membentuk sistem atau aturan yang terukur mengenai
bagaimana pekerjaan ditangani, oleh siapa, kapan, dimana, dan seterusnya. Sistem menuntut
persyaratan ketersediaan resource,
baik SDM dan non-SDM. Formulasi sistem berguna untuk banyak
hal, misalnya untuk standar kualitas, standar operasi, dan untuk memperpanjang
usia. Organisasi yang ditinggal pendirinya akan mungkin masih bisa berjalan
jika sistemnya jalan. Tapi, namanya juga makhluk hidup, tidak semua bisa
disistemkan. Pasti akan tetap ada apa yang disebut di luar sistem.
Dari banyak contoh, formulasi sistem
yang terbaik adalah jika dasar-dasarnya diambil dari fakta dan dinamika
internal, dengan berbagai lika-likunya, ditambah dengan acuan eksternal yang
proporsional. Sistem yang hanya di-copy-paste dari luar, biasanya banyak
bolong, kecuali untuk pengelolaan barang mati, seperti makanan atau mesin.
Untuk mengelola barang hidup, menjiplak
sistem barangkali malah menjadi langkah yang resikonya tinggi. Kita bisa
belajar dari negara kita sendiri. Demokrasi itu sudah menjadi idealisasi
masyarakat modern. Tapi, giliran kita terapkan mekanisme-nya dengan menjiplak
begitu saja, nilai demokrasi malah kalah. Jika kita harus menjiplak sistem dari
luar, mungkin yang perlu kita jiplak hanya nilainya saja atau nilainya dulu.
Soal mekanismenya atau tekniknya, barangkali perlu kita sesuaikan dengan
dinamika internal, konteks lokal, dan tentunya kemampuan. Ini untuk menghindari
resiko yang tinggi.
Secara logika, supaya organisasi itu
lebih panjang lagi usianya, kaderisasi harus dijalankan. Meminjam istilahnya
Gus Solah, mantan Ketua Komnas Ham, orang yang kita pilih menjadi kader itu
idealnya adalah orang yang punya hubungan ideologis dan biologis. Jika kita harus
memilih salah satunya, kita perlu memilih yang dari ideologis.
Kapan Mengetahui Pindah Gigi?
Pertanyaan di atas pasti akan mudah kita
temukan jawabannya sejauh itu menyangkut hal-hal fisik. Setiap orang yang
belajar berkendaraan, akan mudah diberitahu kapan pindah gigi. Tapi, untuk
hal-hal yang non-fisik, ini tidak gampang. Orang yang sudah merintis organisasi
bertahun-tahun pun belum tentu akan cepat ngeh jika dia harus pindah
gigi, dari yang entrepreneurial phase ke managerial phase, lalu
ke collaborative phase.
Faktornya banyak, mungkin karena mental,
pengetahuan, pengalaman, atau pertimbangan. Ada seorang pengusaha alami yang
sangat senior di Jatim. Anaknya yang ingin si ayah tinggal menikmati hidup,
malah gagal. Dikasih sekretaris yang mengatur agendanya malah salah tangkap.
Dikasih catatan keuangan berdasarkan teori audit akuntasi malah ditolak
mentah-mentah. Komentar sang ayah begini: ?%u20AC%u0153Kalau
manajemen itu bisa diandalkan, tidak ada bank yang kebobolan!?%u20AC? Dalam wacananya,
bisa saja kita mengatakan sang ayah yang kuno. Tapi, dalam prakteknya, bisa
saja tidak begitu. Malah bisa jadi anaknya yang keburu pindah gigi. ?%u20AC%u0153Ada
kalanya kesalahan terjadi karena kita meninggalkan yang lama?%u20AC?, kata orang
bijak.
Mengingat kebutuhan non-material itu
sangat abstrak dan komplek, makanya muncul Teori Contingency (CT) dalam
organisasi. Teori ini menyarankan jangan terlalu mengingat teori, konsep,
cara-cara formulatif dalam menjalankan organisasi. Tidak ada rumus atau jurus
yang dijamin pasti OK dalam menjalankan organisasi atau mengambil keputusan.
Semuanya menjadi relatif, alias tergantung banyak hal.
Basis CT ini mungkin mirip seperti yang
dikatakan Bruce Lee. Ketika kita belajar beladiri, kita memang perlu
menghafal jurusnya, konsepnya atau
mungkin teorinya di kelas. Tapi begitu kita menghadapi lawan di pertempuran,
jangan sampai gerakan kita didikte oleh palajaran di kelas. Mencermati gerakan
lawan dan menguasai emosi diri menjadi lebih penting agar gerakan kita relevan
dengan kenyataan.
Agar tingkat kecermatan kita lebih
bagus, hal-hal di bawah ini menjadi sangat urgen untuk dilakukan:
1) Scanning lingkungan internal dan eksternal,
melalui bacaan, pengamatan, perkumpulan, dan seterusnya. Walaupun kita ahli
atau berpengalaman, belum tentu kecermatan kita akurat kalau kita jarang
berinteraksi dengan lingkungan internal-eksternal.
2) Menjaga
posisi pasukan (SDM) agar selalu menjadi aset atau jangan sampai menjadi beban
(liability). Orang yang dulunya pernah menjadi aset, bisa berubah menjadi beban
atau juga sebaliknya.
3) Selalu ada
upaya untuk me-match-kan strategi dan operasi, melalui diskusi, rapat, sharing, formulasi, dan seterusnya.
Kapal kita bisa berubah arah karena ombak atau karena nahkodanya tergoda
4) Seimbang
dalam menyikapi perubahan, antara inisiatif terhadap perubahan dan adaptatif
dengan perubahan
5) Menjaga
keseimbangan, kelancaran, dan kemajuan
secara umum
Butuh Pihak Luar
Di setiap tahap organisasi tersimpan
potensi krisis, selain juga peluang. Jika kurang awas, potensi itu mungkin
menimbulkan masalah dalam bentuk seperti
scare (krisis finansial dan material), konflik tragis dan sadis, sistem
kerja yang tidak jelas, atau kaderisasi yang mandek. Biasanya, potensi itu
tidak bisa terbaca oleh orang dalam, entah karena sibuk atau tidak punya alat
untuk membaca. Kalau pun ada yang bisa membaca, hasil bacaannya kerapkali
kurang bisa dipercaya untuk diikuti karena curiga adanya kepentingan politis.
Di sinilah pentingnya mengundang pihak
luar, mau itu konsultan independen, profesional, atau teman. Untuk konteks ini,
organisasi kita itu sama seperti diri kita. Tidak ada orang yang sanggup meng-cover seluruh masalahnya, kebutuhannya,
atau inisiatifnya sendiri tanpa keterlibatan orang lain.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar