To Work or To Fight
Oleh : Ubaydillah, AN
Pentingnya Pertanyaan Diri
Semua orang sudah
tahu, tujuan ke kantor adalah untuk bekerja (to work). Tapi dalam prakteknya,
belum tentu tujuan itu yang benar-benar kita realisasikan secara optimal. Bisa
jadi, dari 100% jam kerja kita, hanya sedikit yang kita realisasikan untuk benar-benar bekerja, dan sisanya untuk
bertengkar (to fight). Memang, kita seringkali tidak bisa menghindari hal-hal
yang bersifat politis di kantor yang memicu perselisihan dan pertengkaran.
Itulah kenapa sampai
muncul istilah office politic. Menurut Andrew Durbin (Winning Office
Politic, 1990), office politic adalah cara halus / informal untuk
mencapai kekuasaan atau keuntungan (pribadi / kelompok). Melihat hasil riset
Roffey Park, terhadap sejumlah manajer, yang meskipun itu diadakan di luar
negeri, office politic menduduki ranking atas dari penyebab utama
konflik.
Oleh karenanya, pertanyaan
seputar diri (tentang diri, terhadap diri, saat sendirian), seperti apakah kita
ke kantor, apakah untuk bekerja atau untuk bertengkar, menjadi penting sebagai
sebuah cermin. Walau kita sudah tahu jawabannya,
tetapi yang seringkali kita lupakan adalah memunculkannya. Kenapa ini menjadi
penting? Kalau melihat kajian psikologi, ternyata mempertanyakan diri sendiri berfungsi
menyuburkan stamina spiritual.
Yang termasuk
stamina spiritual di sini adalah pencerahan dan vitalitas. Dengan menyadari
bahwa tujuan kita ke kantor untuk bekerja, berkarya, berkreasi, dan
berkontribusi, maka kita akan terbentengi dari keterhanyutan dalam pertengkaran.
Dengan bertanya apa makna hidup kita, akan membuat kita mencari-cari makna yang
lebih esensial di dalam pekerjaan, kesulitan, hambatan, atau pun tantangan yang
harus atau pun sedang dihadapi. Proses tersebut akan memfasilitasi munculnya kesadaran.
Jika melihat
nasehat Tao, ternyata kesadaran itulah yang menjadi sumber kekuatan jiwa.
Kesadaran di sini bisa kita maknai sebagai keterhubungan (connectedness) antara
kita dengan apa yang kita perjuangkan / usahakan / kerjakan. Keterhubungan ini,
tidak hanya berlaku untuk pekerjaan, tapi juga dengan orang lain (pimpinan,
bawahan, kolega). Sebagai ilustrasi, jika bekerja tanpa hati dan motivasi, maka
hasilnya dipastikan pas-pasan bahkan buruk. Jika berelasi dan bekerja sama
tanpa rasa kebersamaan baik dalam tanggung jawab dan komitmen, maka yang ada
adalah kompetisi negatif dan clique / group think.
Perenggut Kesadaran
Meski pertanyaan-pertanyaan
yang menggugah kesadaran itu nampak sepele, namun seperti yang kita alami,
kemunculannya tidak secara otomatis membuat kita benar-benar sadar. Kenapa?
Tentu banyak sebabnya. Hanya, jika melihat berbagai rujukan, rupanya ada
beberapa hal yang bisa kita sebut sebagai perenggut kesadaran mental.
Sebagian dari
sekian perenggut itu adalah amarah (lengkapnya nafsu amarah) yang gagal kita
kendalikan. Nafsu ini adalah dorongan batin yang mendikte kita untuk melakukan
sesuatu yang ditentang oleh suara hati nurani. Pemicunya adalah egoisme
kepentingan / kebenaran diri yang kita pertahankan mati-matian.
Semakin sering
kita menggunakan kebenaran sendiri sebagai pemandu sikap dan perilaku, mungkin
akan semakin kita sering marah. Supaya nafsu ini bisa kita tundukkan, menurut
pengalaman jutaan manusia, tidak ada cara lain kecuali dengan melatih diri melihat
kebenaran universal yang bisa di temukan dalam hati nurani. Jika hati nurani
kalah suara, cobalah untuk melihat echo nurani dari sikap lingkungan terhadap
diri kita. Sebab kita suka memutlakkan kebenaran diri dan melupakan bahwa kita
manusia yang punya keterbatasan.
Ada sebab lain
yang diungkap Alber Bandura (How people do bad thing: 1991). Menurutnya,
orang bisa melakukan hal-hal yang merugikan dirinya dan orang lain karena
sistem self-regulatory di dalam dirinya sedang off sehingga gagal
membedakan. Yang membuatnya off adalah usaha kita untuk merasionalisasi
tindakan supaya mendapatkan pembenar
yang rasional, bukan mengoreksi / memperbaiki. Misalnya kita berkesimpulan, fighting
yang kita lakukan itu cukup beralasan dengan sekian pembenar yang sudah kita
siapkan.
Ada lagi yang
oleh nasehatnya Tao disebut sebagai penggelap batin, yaitu insecurity
(rasa tidak aman) dan egocentricity of selfisness (egoisme). Munculnya rasa tidak aman dalam jiwa disebabkan karena
kita tidak memiliki pondasi nilai-nilai yang membuat jiwa kita aman. Jika rasa
itu terus menggunung, maka yang muncul adalah usaha-usaha untuk mementingkan
diri sendiri atau penonjolan diri secara berlebihan. Akibatnya, kita gampang
menyerang orang karena merasa ada yang mengancam kepentingan diri atau mudah melawan
untuk memberi makan rasa tidak aman yang lapar.
Bentuknya antara
lain: kita memaksakan proses atau keadaan agar harus sesuai dengan keinginan
egois kita, memaksa diri untuk harus terkesan sebagai orang yang cerdas dengan
mematahkan argumen orang lain karena kita takut dibilang bodoh, kerakusan,
mengatur / menguasai orang lain secara tidak sehat, melawan hanya untuk melawan
dan lain-lain
Hanya Surga yang Ideal
Dengan
memunculkan beberapa pertanyaan diri, tak berarti kita harus menjadi orang yang perfeksionis
secara tidak rasional. Misalnya kita menolak / mengingkari secara batin
berbagai bentuk konflik, dan pertengkaran. Ini tentu tidak rasional. Kenapa?
Yang namanya di dunia itu pasti ada hal-hal yang tidak kita harapkan. Hanya di surga
yang memastikan kenikmatan sempurna.
Berbagai
pertanyaan diri yang spiritual itu antara lain berguna agar kita cepat kembali
pada track yang semestinya. Bayangkan jika kita lengah dalam waktu yang
cukup lama? Bukan tak mungkin hidup kita menjadi tak efektif dan tak efisien.
Dalam agama, pertanyaan diri itu termasuk apa yang disebut penasehat di dalam
diri. Orang yang oleh Tuhan dikehendaki baik akan memiliki penasehat di dalam
diri yang mampu mencegah dan menyuruh (kebaikan, kemaslahatan, dan kebenaran).
Selain berguna
mengembalikan pada track, pertanyaan diri itu juga berguna untuk
memfasilitas proses pembelajaran terhadap apa yang terjadi, sehingga membuat
kita menjadi bijak atau memperoleh banyak pencerahan. Bijaknya kita itu bukan
karena berhasil menolak apa yang terjadi atau menyikapinya secara asal-asalan,
melainkan karena kita mencerna pelajarannya. Untuk bisa mencerna, pertanyaan diri
menjadi modal penting. Pengalaman dan pengetahuan belum tentu membuat kita
makin bijak jika tanpa dicerna.
Kegunaan lainnya
adalah untuk memunculkan cahaya positif yang
akan bekerja menginspirasi orang lain mengubah dirinya setelah melihat
perubahan dalam diri kita. Dalam prakteknya, diri kita memunculkan cahaya yang
bisa negatif atau positif, baik secara temporer atau konsisten, tergantung
bagaimana mengolah batin. Orang yang belajar beladiri untuk arogansi akan
memunculkan cahaya yang menginspirasi dunia di sekitarnya untuk berkelahi.
Semakin keras nafsu kita untuk penonjolan diri (power show), akan semakin
banyak orang serupa yang kita temui.
Logika spiritual
ini dapat kita gunakan untuk memahamkan diri bahwa dengan semakin banyak
pertengkaran yang kita ladeni atau yang kita menangkan, tak berarti akan
membuat posisi kita makin aman dan tenteram.
Atau tidak berarti akan semakin sedikit jumlah pertengkaran yang kita
hadapi. Justru akan semakin sering dan akan semakin banyak orang yang
menawarkan pertengkaran.
Bila kita
termasuk orang yang dituakan / dianggap / diangkat sebagai pemimpin, logika
spiritual ini menjadi sangat penting. Kenapa? Kata Marshall dan Zohar, kita
sulit mengubah orang lain yang rakus supaya tidak rakus kalau kita sendiri
rakus. Atau intinya, kita tidak bisa menginspirasi orang lain untuk mengubah
dirinya ke arah yang lebih baik, jika level spiritual kita masih berada di
kelas yang sama, karena cahayanya sama.
Logika ini bisa
kita terapkan dari mulai memimpin divisi, keluarga, organisasi, sampai ke
negera. Bedanya, semakin luas wilayahnya, semakin butuh penggalian yang lebih
dalam supaya cahayanya makin terang. Meski begitu, prinsip dasarnya tetaplah
tak berubah. Sulit membayangkan rakyat peduli pada negara kalau para pemimpinnya
hanya sedikit yang peduli sama bangsanya, karena cahayanya sama.
Meski ilmu
manajemen sudah banyak menawarkan tool untuk mengubah orang lain, dari
mulai pakasaan, pengkondisian, atau pemberian insentif, tetapi mengubah orang
lain yang nyaris tak ada perjuangannya dan persoalannya adalah mengubah dengan
memberi cahaya. Cuma, cahaya itu biasanya tak mau diberi indikator mate-matis
dan tak mau mendikte langsung.
"tetapi mengubah orang lain yang nyaris tak ada perjuangannya dan
persoalannya adalah mengubah dengan memberi cahaya."
Proses Pembelajaran
Kembali pada
pokok bahasan mengenai bagaimana supaya kita terhindar dari office politics yang merugikan atau
kalau bisa malah dapat memfasilitas dinamika di kantor sebagai proses menuju
kematangan spiritual, maka tentu ini butuh proses pembelajaran. Tak mungkin
semuanya bisa diraih langsung atau membiarkan. Beberapa proses pembelajaran
yang dibutuhkan itu antara lain:
Pertama, memunculkan kesadaran bahwa kita punya pilihan. Situasi
atau orang yang menawarkan pertikaian tak ada yang mengharuskan dibalas secara
pertikaian. Reaksi itu pilihan kita. Sayangnya, terkadang kita tidak menyadari
bahwa kita memiliki pilihan untuk YA dan TIDAK. Kita terhanyut dalam keharusan
bereaksi. Karena itu, orang yang sedang berpuasa diharuskan memilih kata TIDAK
pada tawaran pertikaian sebab salah satu inti puasa adalah belajar mengontrol
pilihan.
Kedua, memaksa diri untuk belajar menentukan keputusan yang
jelas pada hal-hal yang membutuhkannya. Terkadang kita tak mampu mengambil keputusan yang jelas karena
merasa tidak kuasa, "The I Can Not" (misalnya, saya tak tahan, memang sudah begini watak saya, dst) atau karena
pilihan dan alasan kita tidak tegas, "The Yes-but" (saya tahu pertengkaran ini
merugikan, tapi...., dan berbagai "tapi" yang lain).
Mestinya, untuk
pembelajaran, kita perlu memaksa diri harus tegas dengan mengurangi sejumlah persyaratan
dan menambah alasan. Misalnya, kita tidak mau meladeni pertengkaran, karena
kita punya pilihan yang sadar untuk itu, meski kita punya kesempatan untuk
membalasnya, dengan alasan yang material (fisik atau keuntungan pribadi) dan
spiritual (keimanan, dst).
Ketiga, memaksa diri membedakan mana yang perlu didiamkan dan
mana yang tidak bisa. Untuk godaan orang lain
yang sifatnya "menguji", entah menguji keimanan, keteguhan atau apa saja,
yang lebih baik adalah mendiamkan. Misalnya kita sadang giat-giatnya
merealisasikan visi atau tujuan, tapi bisik-bisik orang sekitar tidak
mengenakkan. Kalau kita memikirkan yang demikian, maka energi dan fokus kita
menjadi tidak kuat atau bocor.
Tapi, untuk
hal-hal yang sudah sampai pada kezaliman perilaku, maka kelantangan kita terkadang dibutuhkan. Orang
yang mendiamkan KDRT tak berarti baik, meski tetap harus berpikir memperjuangka
keutuhan. Kelantangan pun perlu dibedakan antara mana yang menginspirasi orang
lain memperbaiki perlakuannya pada kita dan mana yang tidak. Umumnya,
kelantangan yang efektif adalah kelantangan yang jarang, jelas, dan pendek,
tidak merembet kemana-mana.
Bagaimana Kalau Tidak Mempan?
Banyak yang
bertanya-tanya, saya sudah berusaha baik, tapi si dia-nya itu yang tetap kurang
ajar. Apa yang harus saya lakukan? Dalam kondisi begini, kita harus lari
berpegang pada prinsip lain: sejauh kita memperbaiki diri, walaupun dia tidak
%0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar