Kapankah Kompetisi Berubah Menjadi Konflik
Oleh : Ubaydillah, AN
Kompetisi
& Konflik
Kalau melihat ke arti dasarnya, kompetisi itu
tidak otomatis langsung mengandung konflik. Kamus bahasa Inggris, Merriam
Webster?%u20AC%u2122s, misalnya, menjelaskan kompetisi itu diambil dari bahasa Latin, competere,
yang kemudian berubah menjadi to compete dalam bahasa Inggris. Competere
sendiri mengandung banyak arti, antara lain: mencari bersama (to seek together), menyetujui (agree), pergi bersama (to go together) atau menyesuaikan (be suitable). Dari sekian arti itu
hampir tidak kita temukan yang mengarah pada konflik.
Memang ada sedikit perubahan ketika competere
menjadi to compete. To compete
adalah berjuang untuk mencapai sasaran, baik ditempuh secara sadar atau tidak
sadar. Atau juga berada di dalam situasi persaingan, seperti perusahaan yang
sedang merebut hati pelanggan. Yang menarik di sini, ternyata ketika dalam
bahasa Inggris pun, kata itu bentuknya intransitive,
yang berarti tidak butuh objek (korban), seperti kata memukul, membenci,
menghina, atau merendahkan.
Namun, rasa-rasanya sudah biasa kalau kita
menjumpai perbedaan antara apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang
terjadi di praktek hidup. Seperti kata orang, dalam teori, antara praktek dan
teori itu sama. Tapi, dalam praktek, antara teori dan praktek adalah dua hal
yang berbeda. Terbukti, menurut hasil survei, seperti yang dikutip Donelson R.
Forsyth dalam bukunya Sosial Psychologi (1987), ternyata yang sering menjadi sumber
konflik di kantor adalah kompetisi atau persaingan, entah untuk merebut jabatan,
pendapatan, atau pengakuan. Kalau kita lihat, tidak menutup kemungkinan
jika dari persaingan itu kemudian menimbulkan permusuhan, baik antar pribadi
atau antar geng. Permusuhannya pun macam-macam; ada yang masih dalam bentuk
permusuhan batin dan ada yang sudah berbentuk permusuhan lahir (kelihatan,
fisik, dst).
Kapankah
Kompetisi Menjadi Konflik?
Dari praktek yang umum terjadi, kompetisi akan
segera berubah menjadi konflik ketika sasaran kita adalah to beat: mengalahkan orang lain, menghancurkan, atau menang dengan
cara yang ngasorake (merendahkan). Karena
tidak ada orang yang mau dikalahkan, maka konflik akan muncul. Dalam aturan kompetisi,
memang harus ada orang yang bisa dibahasakan sebagai pihak yang kalah atau yang
menang. Sejauh itu aturan main, yang letaknya di luar diri kita, itu tidak
masalah; yang masalah adalah ketika kita sudah merendahkan atau mengalahkan
orang lain untuk meraih kemenangan.
Supaya konflik tidak muncul, maka sasarannya
perlu kita ganti, dari to beat ke to win atau meraih kemenangan
yang pengertiannya adalah menjadi the best dari yang bisa kita lakukan
terhadap diri kita (to achieve
competitive advantages). Kompetisi juga sudah perlu dipahami sebagai
benih-benih konflik ketika suasana, situasi, dan iklim interaksi yang muncul
telah mengeluarkan aroma permusuhan, penjegalan, atau pembunuhan karakter.
Ada pelajaran yang cantik tentang kompetisi ini
dari makna yang ada di balik abjad Jawa yang jumlahnya 20 itu. Rententan makna
di baliknya mengajarkan kita bahwa kita ini adalah utusan atau makhluk Tuhan
yang dibekali perbedaan, dari jenis kelamin, bakat, sampai profesi (Honocoroko). Dengan bekal perbedaan itu, hendaknya kita
menggunakannya untuk melakukan berbagai peranan yang sesuai dengan perintah-Nya,
seperti mengasah keunggulan atau bekerjasama untuk berprestasi atau berkontribusi
(Dotosowolo). Jika perbedaan itu kita gunakan sesuai aturan
/ perintah-Nya, misalnya berkompetisi, maka masing-masing kita akan menjadi
jaya dengan perbedaan itu, sesuai usaha, atau menjadi yang terbaik dari diri
kita (Podojoyonyo). Sejauh kita ikhlas atau meniatkan semua
proses itu atas kesadaran untuk menjalankan perintah Tuhan, maka tidak saja
kejayaan di dunia ini yang kita peroleh, nanti di mata Tuhan pun akan
dimuliakan (Mogobotongo).
Budaya
Tenggang Rasa & Komunikasi
Apa yang membuat kompetisi itu bisa cepat
berubah menjadi konflik dalam sebuah organisasi? Salah satu yang paling
mendasar di sini adalah paradigma tenggang rasa yang telah menjadi budaya kerja
atau yang sudah dipraktekkan secara umum.
Di setiap organisasi, pasti ada budaya kerja
yang bersumber dari paradigma tenggang rasa. Yang membedakan di sini adalah
level kualitasnya. Bila merujuk ke pendapatnya Stephen Covey (1993), level kualitas
tenggang rasa yang tertinggi adalah adanya budaya kesediaan untuk mengalah (win/lose) atau saling memenangkan (win/win). Padahal, nilai-nilai kearifan tradisional
kita mengajarkan bahwa orang hanya akan bisa bersedia mengalah (win / lose) atau legowo, bila:
- Punya komitmen
untuk menjaga sikap yang positif
- Punya kepasrahan
yang tinggi terhadap Tuhan
- Punya dorongan
yang kuat untuk menghindari prilaku buruk
- Punya kesediaan membantu
orang lain secara tulus
- Tidak selalu
mengkalkulasi untung-rugi kehidupan dari sisi materi (spiritual)
Artinya, legowo
itu adalah perbuatan orang yang kuat: kuat prinsip hidupnya, kuat imannya, atau
besar jiwanya sehingga bersedia mengalahkan self-interest-nya demi untuk
kepentingan orang banyak atau kepentingan yang lebih besar. Legowo sangat sulit
diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang lemah, entah lemah imannya atau
lemah prinsip hidupnya. Begitu kita lemah, perasaan merasa kalah / dikalahkan
akan cepat muncul sehingga mendorong kita untuk mengalahkan atau tidak mau
dikalahkan.
Sebab lainnya adalah kualitas komunikasi.
Semakin rendah kualitas komunikasi dalam organisasi, sangat mungkin akan
memudahkan munculnya konflik dari kompetisi. Beberapa tandanya antara lain: saling
membela-diri, saling bermain politik, saling bermain trik yang tidak jujur atau
tersembunyi, harus ada yang dikalahkan atau dikorbankan.
Sedangkan untuk kualitas menengahnya, antara
lain ditandai dengan: budaya saling menghormati, saling menggunakan diplomasi, atau
saling menjaga perasaan. Pada tingkat ini, kompetisi sangat mungkin menjadi
penyebab konflik, tetapi mungkin tidak terlalu mencolok atau tidak terlalu
kotor.
Adapun untuk kualitas yang tinggi, tandanya
yang paling kuat adalah munculnya sinergi dalam proses komunikasi dan
interaksi. Bersinergi di sini mencakup antara lain: memberdayakan perbedaan
untuk kebaikan, saling tolong menolong, saling memberi informasi yang lebih
terbuka untuk hal-hal yang dibutuhkan, dan seterusnya. Budaya tenggang rasa dan komunikasi itulah
yang sering membuat orang-orang sekantor seperti saudara atau sudah mampu
membangun hubungan yang tidak lagi hanya sebatas diikat oleh kesepatan profesi
atau tugas. Tapi, bisa pula membuat orang seperti musuh bebuyutan.
Peranan
Pemimpin & Kepemimpinan
Jika kompetisi sudah berubah menjadi konflik,
lebih-lebih yang sudah sampai pada aksi saling merusak, salaing memusuhi, dan
saling melakukan pembunuhan karakter, maka keterlibatan seorang pemimpin sangat
dibutuhkan. Hampir sangat jarang ada contoh yang membuktikan keberhasilan penyelesaian
konflik di organisasi tanpa keterlibatan pemimpin. Mungkin itulah kenapa sampai
ada ungkapan yang mengatakan bahwa organisasi itu lebih bagus ada pemimpinnya,
meskipun dia bukan orang yang segalanya bagus.
Kita tentu sudah tahu bahwa pemimpin di sini
maksudnya bukan semata sosok, melainkan sosok yang menjalankan fungsi
kepemimpinan. Kalaupun sosoknya ada,tetapi fungsi kepemimpinannya tidak jalan,
seringkali ini kurang berguna. Bahkan bisa-bisa pemimpin itu sendiri yang
menjadi sumber konflik. Fungsi kepemimpinan yang sangat dibutuhkan
dalam memotong mata rantai konflik itu adalah mengendalikan perbedaan individu
dengan mengacu pada nilai dan visi organisasi. Kata Horney (Our Inner Conflict:
1945), setiap orang itu memiliki kebutuhan untuk menyendiri dari orang,
mendekati orang, dan melawan orang. Bisa dibayangkan, jika dorongan untuk
berbeda dan melawan itu tidak dikendalikan dengan visi dan nilai organisasi,
supaya tetap on the track, maka organisasi itu akan menjadi ajang
konflik dari perbedaan orang-orangnya. Yang satu begini dan yang lainnya
begitu.
Fungsi penting lainnya adalah merumuskan atau
menyepakati aturan main dalam
organisasi. Dalam konteks ini, aturan main yang perlu digariskan adalah yang
menyeimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan. Tumbuh yang tidak merata dapat
menimbulkan konflik, lebih-lebih ada pilih kasih, seperti juga merata yang
tidak tumbuh: dapat menimbulkan conflict in harmony.
Fungsi lainnya adalah untuk memperkuat kultur
yang bertenggang rasa tinggi atau yang kualitas komunikasinya tinggi. Seperti kita tahu, kultur dibentuk
dari nilai, pengetahuan, tradisi, aturan, dan lain-lain. Jika merujuk ke sini,
semua perusahaan / organisasi punya kultur. Bedanya adalah ada yang kuat, dalam
arti yang mempraktekkan semua itu, dan ada yang lemah, atau hanya sekedar
himbauan, mestinya, atau masih di tataran baru diidealisasikan, alias belum
dipraktekkan. Siapa yang bisa menggerakkan ini kalau bukan pemimpin?
Intinya, fungsi kepemimpinan yang seringkali
dapat menyelesaikan konflik adalah yang memutuskan untuk melakukan atau yang
mengajak orang-orang menyepakati hal-hal yang akan dilakukan. Kalau hanya
memainkan fungsi mengharapkan, menyalahkan konflik, atau menormatifkan,
seringkali ini tak bisa mengubah apa-apa.
Bagaimana jika sosok pemimpin seperti itu
tidak ada? Jalan lainnya adalah menunjuk satu atau dua orang yang berposisi
sebagai penengah. Ini bisa sukses asalkan masing-masing pihak punya
kecenderungan untuk berdamai. Tapi jika kecenderungan itu tidak ada, peran penengah
sering gagal atau berjalan terseok-seok. Kecenderungan itu harus bisa
dibuktikan adanya kesediaan untuk mengalah atau saling memenangkan. Jika
kecenderungan itu hanya berupa ucapan, kerapkali ini masih belum cukup.
Apakah Semua
Konflik Itu Selalu Jelek?
Kalau kita lihat lagi, konflik pun terkadang
menghasilkan dinamika yang baik, meskipun konfliknya sendiri tetap jelek, tidak
enak, atau sesuatu yang tidak kita inginkan. Beberapa ciri konflik yang
menghasilkan dinamika positif itu antara lain:
- Jika mampu
mengungkap borok atau persoalan yang selama ini tersembunyi
- Jika mampu
menghasilkan evaluasi yang lebih baik
- Jika mampu
membuat orang-orang memahami kenyataan yang sebenarnya
- Jika mampu mendorong
orang-orang untuk lebih belajar lagi.
Tapi yang lebih sering terjadi, konflik juga
menghasilkan dinamika yang buruk. Beberapa cirinya antara lain:
- Membuat
produktivitas orang-orang menjadi anjlok,
- Moralnya menjadi
rusak
- Api permusuhan
berkobar dimana-mana
- Prilaku
orang-orang makin ngawur
- Saling
mendemontrasikan sikap konfrontasi.
Ketika sudah begini, kantor adalah
satu-satunya tempat yang paling menjadi korban. Orang berangkat ke kantor bukan
to work, tetapi to fight, kalah-menang sama-sama jadi abu. Kata
orang, jika di sebuah kantor itu ada konflik yang merusak, maka nada dan cara orang
mengangkat telepon atau menyambut tamu, sudah beda rasanya.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar