Sulitnya Mendelegasikan Pekerjaan
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Dalam suatu kerja
tim, ada tugas dan tanggung jawab yang melekat di tiap personel. Adalah tugas
si ketua untuk mendistribusikan tugas A-Z sesuai peran anggota, maka
berlangsunglah suatu tahap yang dikenal
dengan delegasi. Namun pernahkah kita, ketika menjadi pemimpin, mendelegasikan
tugas kemudian mengambil alih secara spontan entah satu detik tepat ketika si
pengemban tugas akan memenuhi tanggung jawabnya, atau di saat si pengemban tugas ada di puncak
semangat tugasnya, tanpa kemudian melakukan klarifikasi kepada pihak yang telah
kita beri tugas? Seringkali akhirnya kalimat penjelasannya "Oh..maaf, tadi
saya spontan melihat situasi begitu". Padahal sebenarnya situasi masih
terkendali, maka jangan salah jika anggota tim akan bertanya-tanya, "Sebenarnya
ini kerja tim atau perorangan?"
Delegasi ternyata tidak semudah menuliskannya
Ada situasi di
mana seorang pemimpin tiba-tiba mengambil alih tanggung jawab demi kelancaran
proses untuk mencapai tujuan. Namun, 'kegagalan' delegasi bisa juga terjadi
akibat 'ketidakmampuan' pemimpin melalui proses ini. Ketidakmampuan ini
biasanya bukan terjadi di ranah kognitif melainkan lebih berwarna emosi atau
tepatnya pengendalian emosi. Bisa juga karena kurang lancarnya alur komunikasi
dalam tim itu sendiri, sehingga masing-masing pihak memaknai tugas secara
ambigu, sehingga siapa person in charge (PIC)
siapa pendukung menjadi kabur.
Pendelegasian
Mengingat kata delegasi berasal dari bahasa
asing, mari kita mengintip definisi secara bahasa dari kamus asing.
Delegate is to
assign (as responsibility or power to act or make decisions) to another. (Merriam-Webster's
Dictionary and Thesaurus, 2006)
Sementara,
dalam literatur organisasi, kata
delegasi menjadi bagian erat dari kepemimpinan. Sangat mudah kita
temukan di
internet atau buku, bahwa dalam kepemimpinan di antaranya mengandung:
pendelegasian tugas, mengkomunikasikan tujuan tim pada semua anggota,
perencanaan strategi, membuat keputusan, menggerakkan orang lain untuk
melakukan sesuatu, mendorong orang lain untuk mengambil dan memenuhi
tanggung
jawab.
Delegasi tidak berarti menyerahkan tanggung
jawab secara lepas sama sekali, karena monitoring juga menjadi tugas si
pemimpin. Dalam proses ini, terdapat beberapa butiran yang kasat mata namun
penting bagi kesuksesan tim secara menyeluruh. Ketika seorang pemimpin
mendelegasikan tugas, maka ia: mempercayakan
tugas pada orang lain, menghargai kemampuan orang lain, memberi kesempatan
orang lain untuk tampil dan mengaktualisasikan dirinya. Pada saat yang sama, ia
juga menjadi seorang yang berani mengambil resiko untuk kecewa apabila tugas
yang dilaksanakan tidak mencapai standard yang telah ditetapkan. Ia juga belajar untuk konsisten terhadap keputusannya (mendelegasikan tugas
pada orang lain).
Successful Delegating
Kesuksesan tim menyiratkan kesuksesan
pendelegasian tanggung jawab setiap komponen yang ada, tidak hanya pemimpinnya.
Di sini, hasil tidak selalu representasi dari suksesnya tim, karena
keberhasilan tim salah satunya adalah meningkatnya kelekatan anggota tim atau
perasaan ingroup. Pada konteks
kepemimpinan dan pendelegasian ini, terdapat beberapa mutiara yang siap dipanen
oleh para anggota, di antaranya keyakinan akan kemampuan diri (dikenal dengan self efficacy), penghargaan terhadap
diri sendiri (self esteem), perasaan
memiliki terhadap kelompok (self-belonging
dan ingroup favoritism).
Meningkatnya keyakinan akan kemampuan seorang
individu dalam satu tim, merupakan modal bagi perkembangan positif tim
tersebut. Tim menjadi semakin matang dan kuat selain mendapatkan
kado semakin lekatnya perasaan ingorup para anggota. Perasaan sebagai satu
kelompok atau adanya rasa memiliki yang meningkat menunjukkan keberhasilan dari
tim sebagai media penghantar keinginan tiap individu. Apapun peran individu
yang tergabung di dalamnya, mereka akan merasakan penghargaan diri yang tumbuh
di dalam atau seiring dengan proses kelompok. Pemimpin juga akan merasakan hal
yang kurang lebih sama, perasaan puas telah berhasil memimpin anggota mencapai
tujuan kelompok, perasaan positif karena dihargai oleh anggota tim yang juga
tidak bisa dinafikan akan berimbas pada self
esteem.
Kesuksesan dari
kerja sama atau memimpin biasanya baru terlihat setelah melewati beberapa
kesempatan, tidak bisa dinilai secara instan. Kepuasan yang dibutuhkan bukan semata
yang dirasakan oleh pemimpin atau anggota saja, melainkan semua pihak, karena
dalam kerja sama tim, keterkaitan satu dan yang lain saling mempengaruhi.
Faking delegating
Pendelegasian yang setengah-setengah atau
formalitas, hanya mengancam keutuhan tim dalam jangka panjang. Delegasi
ini biasanya hanya tersurat dalam pembagian tugas di atas kertas,
atau dalam meeting. Pelaksanaannya, si pemimpin bisa tiba-tiba memasuki
wilayah 'kekuasaan' anggota yang pada beberapa saat sebelumnya telah
diserahkan secara de jure. Jika hal ini berlangsung terus
menerus, maka anggota kelompok lambat laun akan menyangsikan atau tidak
mempercayai kepemimpinan yang ada.
Pada sisi lain,
pemimpin itu sendiri secara tidak sadar memupuk rasa tidak percaya pada orang
lain (anggota), sehingga tidak jarang ia akan kebingungan atau panik karena
secara mental ia memang tidak membagi (mendelegasikan) tugas pada orang lain.
Stress yang dipikul akhirnya melebihi kewajaran karena distribusi tugas yang
kurang adil, terhadap diri sendiri dan orang lain. Beban yang seharusnya
dipikul kelompok menjadi beban seorang individu yakni pemimpin, maka sesungguhnya
ia tidak lagi berperan sebagai seorang pemimpin melainkan individual.
Dalam konteks
yang lebih luas, hal ini bisa berdapmpak pada mandulnya regenerasi. Kondisi
semacam ini banyak kita temui dalam skala nasional, di mana kini banyak
berdengung pro-kontra antara 'pemimpin muda vs pemimpin generasi tua'. Fenomena ini sedikit banyak mencerminkan
protes junior yang merasa tidak diberikan kesempatan dan tidak dipercaya untuk
tumbuh dan berkembang. Yang pada sisi lain merupakan hasil dari 'gagal' nya
proses delegasi (kesempatan orang lain untuk belajar).
Practice makes
perfect
Hingga saat ini,
masih ada dua kubu yang meyakini bahwa menjadi pemimpin adalah bakat, sementara
kubu lainnya berpendapat bahwa semua orang bisa belajar untuk menjadi pemimpin.
Pada kesempatan ini penulis tidak akan membahas tentang tipe kepribadian
pemimpin, melainkan ingin menekankan pentingnya proses belajar dari skala kecil
hingga besar untuk bisa menjadi pemimpin yang mampu secara mental melakukan
delegasi dalam tim.
Kesempatan
belajar mendelegasikan tugas pada orang lain berawal dari kerelaan untuk
bekerja sama dengan orang lain. Merujuk pemahaman ini, kerjasama bisa terjadi
tidak selalu dalam konteks pemimpin-anggota, melainkan dua orang yang bekerja
sama dalam status sama atau setara. Jika ia adalah orang yang kita kenal,
mungkin tidak akan terlalu besar konflik tarik-menariknya. Ini menjadi langkah
awal yang sering tidak disadari menjadi dasar kemampuan pendelegasian tugas.
Selanjutnya kerelaan kita akan diuji ketika bekerja sama dengan orang yang
kurang kita kenal, kata pertaruhan mulai membayang sehingga kita dihadapkan
pada pilihan akan mencoba menjadi pengambil resiko atau menarik kembali ke
dalam zona aman diri kita?
Dalam konteks
kerja sama antara dua orang pun, kita berlatih bagaimana monitoring dan
berkomunikasi secara efektif. Pola yang terlihat sederhana ini menjadi medan
pertama bagi kompleksitas kerja sama dalam kelompok. Semakin besar jumlah
komponen dalam kelompok, semakin berwarna pula kelompok itu. Jangan lupa, bahwa
kelompok terdiri dari insan atau pribadi yang memiliki warna sendiri, sementara
sebuah kelompok bukan agregat atau penjumlahan dari tiga atau sepuluh orang
melainkan warna yang dihasilkan dari kolaborasi nan cantik.
Kekecewaan dalam
bekerjasama dengan orang lain memang tidak selalu mudah untuk dilupakan, bahkan
untuk beberapa orang hal itu menjadikan ia cukup anti bekerja dalam kelompok
karena pernah menjadi korban ketidakadilan. Mungkin formula cocok-tidak cocok
bisa menjadi pelipur lara, di mana bekerja sama dengan orang lain juga
merupakan proses pertautan chemistry
di antara anggotanya.
Bagaimana pun,
latihan dari hal kecil yang terjadi di keseharian akan membentuk pengalaman
yang bermakna. Karena bekerja sama berarti memberikan ruang pada orang lain,
menghargai teritori orang lain dan masih banyak lagi makna subjektif yang hanya
akan dirasakan secara langsung bagi yang mengalaminya. Juga memberi kesempatan diri kita sendiri untuk memiliki kemampuan berbagi.
Selamat mencoba!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar